Rabu, 22 Desember 2010

Gender Dan Swadharma Warga Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Hindu

Oleh : Ida Bagus Agung

Pengantar.

Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Sebagai contoh anak laki-laki diberi nama Kartono, sedangkan anak perempuan diberi nama Kartini. Melalui proses belajar manusia membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak hanya memandang dari aspek biologisnya saja, tetapi juga dikaitkan dengan tugas dan kewajiban (swadharma) atau fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Dari proses belajar ini barangkali yang memunculkan teori “gender” yang dijadikan sebagai pijakan berpikir sehingga menjadi “ideologi gender.” Ideologi gender merupakan dasar berpikir yang membedakan dua jenis manusia berdasarkan “kepantasannya.” Melalui ideologi gender manusia menciptakan “kotak” untuk lakilaki dan “kotak” untuk perempuan sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya. Ciri-ciri lakilaki dan perempuan “dikunci mati” oleh ideologi gender (A. Nunuk Prasetyo Murniati, 1993:4).

Salah satu dampak negatif dari ideologi gender adalah terbentuknya budayapatriarkhi di mana kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah daripada laki-laki atau dalam masyarakat terjadi dominasi laki-laki. Dalam keluarga kedudukan laki-laki lebih tinggi, suami lebih berkuasa, suami yang di depan sementara isteri di belakang saja. Budaya patriarkhi menjadi/memberi “warna” dari kehidupan sosial.

Sejak awal-awal kehidupan manusia, maka ternyata keluarga (perkawinan) merupakan salah satu lembaga yang efektif untuk pembentukan pribadi manusia. Dalam kitab Veda Smrthi tersurat sebagai berikut:

Tatha nitya yateyatam,
stripumsau tu kritakriyau
Jatha nabhicaretam tau Wiyuktawitaretaram

(Weda smrthi. IX.102) Artinya:
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan,
mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai
dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.
Anyonyasyawayabhicaro, bhawedamaranantikah, Esa dharmah samasena, jneyah stripumsayoh parah.

(Weda Smrthi IX.101) Artinya:
Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati,
Singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami-isteri.

Berdasarkan sloka di atas perkawinan merupakan awal dari terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Warga rumah (suami dan isteri), wajib menjaga kesucian masing-masing, hidup rukun dan damai, tenteram, bahagia, mengupayakan terbinanya kepribadian dan ketenangan lahir dan batin dalam upaya menurunkan anak yang baik.

Dalam kitab Rg Veda dinyatakan laki-laki dan perempuan sebagai suami-isteri disebut dengan satu istilah “dampati” yang artinya tidak dapat dipisahkan. Dalam agama Hindu perempuan diakui sejajar dengan laki-laki. Dalam kitab chandokya upanisaddisebutkan bahwa semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan. Kitab Chandogya Upanishad menyatakan bahwa:Tuhan adalah jiwa dari seluruh alam semesta ini. Tuhan adalah hakekat kenyataan, Tuhan adalah kebenaran sejati, beliaulah Paramatman (sumber dari jiwa), Engkau adalah itu (tat-twam-asi).

Berdasarkan Weda Smrthi, perkawinan memiliki sifat yang religius (sacral) karena dihubungkan dengan tugas untuk menghasilkan turunan yang suputra (Put artinya neraka dan Tra artinya menyelamatkan, menyeberangkan). Di dalam kitab Slokantara disebutkan mempunyai seorang putra itu lebih berguna dari pada melakukan seratus korban suci (yadnya) asal lahir anak yang utama (wisesa). Perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar legalitas hubungan biologis semata, tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum agama. Wiwaha Samskara merupakan upacara sakral, atau sakralisasi suatu peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib bagi umat Hindu (Weda Smrthi II.67).

Dalam upacara perkawinan, umat Hindu memuja Tuhan dalam aspek sebagaiDewa Ardha Nareswari. Tuhan dalam aspeknya sebagai Dewa Ardha Nareswari disimbulkan laki-laki dan perempuan dalam satu badan. Simbol ini menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan harus bersatu padu dan bekerjasama dalam kesetaraan. Hubungan suami dan isteri bagaikan api dengan panasnya.

Tujuan hidup manusia Hindu yaitu tercapainya kesejahteraan atau kebahagiaan lahir dan batin (moksartham jagathittha). Moksa adalah bersatunya atma ke dalamParamatma (Brahman) sehingga tercapailah kebahagiaan yang sejati. Sedangkanjagadhita adalah kebahagiaan jasmani, kebahagiaan karena benda-benda materi. Tujuan hidup manusia secara lebih lengkap terangkum dalam kitab Brahmana Purana yang menyatakan bahwa dharma artha kama moksanam sariram sadhanam, yang artinya badan wadag ini adalah dipergunakan untuk mendapatkan dharma, artha, kama, danmoksa. Dharma adalah kebenaran, artha adalah kekayaan materi, kama adalah hawa nafsu, dan moksa adalah kebahagiaan yang sejati. Dengan demikian tujuan hidup manusia Hindu adalah melaksanakan dharma, mengejar harta, menikmati kama, dan mencapai moksa.

Keempat tujuan hidup manusia Hindu tersebut tidak bisa dilepaskan begitu saja keberadaannya dengan periodesasi/masa kehidupan yang dikenal dengan nama Catur Asrama yaitu Bramacari Asrama, Grahastha Asrama, Wanaprastha Asrama, danBhiksuka Asrama. Brahmacari Asrama adalah masa menuntut ilmu pengetahuan dan keterampilan. Grahastha Asrama adalah masa membangun keluarga yang diawali dengan upacara perkawinan. Wanaprastha Asrama adalah masa memperdalam ajaran agama, mencari kebenaran tentang arti hidup yang sebenarnya. Masa ini adalah masa mengasingkan diri. Bhiksuka Asrama adalah masa pelepasan secara total ikatan-ikatan keduniawian dengan hidup berkelana melakukan pengembaraan spiritual, misalnya dengan melakukan dharma Yatra yaitu mengunjungi tempattempat yang suci untuk melakukan penyucian diri.

Sebagai pedoman dan tuntunan dalam kehidupan berumah tangga agar tercapai kebahagiaan hidup, maka warga rumah wajib melakukan komunikasi spiritual secara rutin dengan Tuhan, hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, dan hubungan yang harmonis dengan alam lingkungannya (Tri Hita Karana).

Sesuai dengan ajaran Hindu, warga rumah (suami, isteri, anak, cucu, dan lain-lain) dilarang untuk melakukan himsa karma, yaitu perbuatan yang mengorbankan, menyengsarakan, atau menyakiti diri sendiri atau orang lain. Kitab Sarasamuccaya, sloka 90 menyatakan sbb:

“Karena itu hendaknya dikekang, diikat kuat-kuat panca indera dan pikiran itu, jangan dibiarkan akan melakukan tindakan melanggar, melakukan sesuatu yang tercela, sesuatu yang tidak membawa kebahagiaan, sesuatu yang pada akhirnya tidak menyenangkan.“

Kewajiban Anggota Keluarga Hindu.

Dalam sebuah keluarga minimal terdiri dari suami (bapak), isteri (ibu), dan anak yang masing-masing memiliki tugas dan kewajiban sebagai warga rumah. Tugas dan kewajiban isteri dan suami secara umum yang harus dilaksanakan antara lain: Suami-isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati dalam kesetaraan, setia, saling membantu baik lahir maupun batin. Setelah mempunyai putra (santana), suami-isteri bekerjasama mendidik putra-putrinya sebaik-baiknya sampai putra-putrinya kawin dan dapat berdiri sendiri. Hubungan cinta kasih antara suami-isteri harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Di samping itu suamiisteri berkewajiban mempelajari dan menjalankan ajaran-ajaran agama. Di samping mendalami ajaran tatwa agama, juga melaksanakan upacara keagamaan serta ajaran kesusilaan (etika agama) sepertiTrikaya Parisudha, Catur Paramita, Panca Yamabratha, Panca Nyamabratha, Dasa Dharma, Dasa Paramita, dan lain-lain. Secara khusus tugas dan kewajiban suami, isteri, dan anak diatur sebagai berikut:

1. Tugas dan Kewajiban Suami.

Laki-laki disebut suami karena ia mempunyai isteri. “Suami” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “pelindung.” Ini berarti tugas suami adalah melindungi isteri dan anakanak. Juga menjaga keutuhan keluarga dengan menghindari perceraian, mendidik isterinya untuk melakukan penyucian diri (bratha), memberi benih putra-putri yang luhur (Rg Veda.X.85.25).

Suami dan isteri dalam keluarga diumpamakan sebagai akasa dan pertiwi atau benih dengan tanah yang tertuang dalam kitab Weda Smrthi sebagai berikut: “Wanita dinyatakan sebagai tanah, laki-laki dinyatakan sebagai benih; jazad badaniah yang hidup terjadi karena hubungan antara tanah dengan benih.“

Sloka di atas menegaskan bahwa seorang suami mempunyai tugas sebagai pemrakarsa, pencetus, pemimpin dalam rumah tangga. Dengan demikian keluarga Hindu menganut sistem kebapakan (Sang Purusa, Patriarchat).

Dalam kitab Sarasamuccaya 242, suami atau bapak mempunyai kewajiban membangun jiwa dan raga anaknya:
1) Sarirakrt , artinya mengupayakan kesehatan jasmani anak.
2) Prana data, artinya membangun jiwa si anak.
3) Anna data, artinya memberikan makan.

Dalam kitab Grhya Sutra seorang suami mempunyai dua kewajiban, yaitu:
1) Memberikan perlindungan pada isteri dan anaknya (patti).
2) Berkewajiban menjamin kesejahteraan isteri dan anak-anaknya.

Dalam kitab Nitisastra VII.3 kewajiban suami/bapak dalam keluarga ada 5 jumlahnya yang disebut Panca Wida, yaitu:
1) Matulung urip rikalaning baya, artinya menyelamatkan keluarga pada saat bahaya.
2) Nitya maweh bhinojana, artinya selalu mengusahakan makanan yang sehat, yang satwika.
3) Mangupadyaya, artinya memberi ilmu pengetahuan kepada warga rumah.
4) Anyangaskara, artinya menyucikan anak atau membina mental spiritual anak.
5) Sang ametwaken, artinya sebagai penyebab lahirnya anak.

Dalam kitab Veda smrthi Bab III.45 s.d 60 mengurai tugas suami adalah membangun Grahajagadhita dengan cara:
1) Menggauli isterinya kecuali pada perwani.
2) Merasa puas dengan isterinya seorang.
3) Menghormati isterinya.
4) Merasa bahagia dengan isterinya.

Dalam kitab Veda smrthi Bab IX.3, suami/bapak adalah sebagai pelindung isterinya yang lengkapnya tersurat sebagai berikut: “Selagi ia (isteri) masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putra-putrinyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas dari perlindungan.“

Secara lebih terperinci tugas suami dalam keluarga menurut Veda Smrthi Bab IX.2, 3, 9, dan 11 dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Wajib melindungi isteri dan anak-anaknya serta memperlakukan isteri dengan sopan dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungan dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
2) Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan isterinya untuk mengurus harta rumah tangga, urusan dapur, yadnya, serta ekonomi keluarga.
3) Suami wajib menggauli isterinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari unsur-unsur yang mengakibatkan perceraian.
4) Suami hendaknya selalu merasa puas dan berbahagia bersama isterinya karena dalam rumah tangga apabila suami-isteri merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.
5) Suami wajib menjalankan tugas dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara dengan baik (dharma grahastha, kula dharma)
6) Suami/ayah wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.
7) Suami wajib melakukan sraddha, pemujaan terhadap leluhur (pitra puja), memelihara cucunya dan melaksanakan panca yadnya.

2. Tugas dan Kewajiban Isteri Dalam rumah tangga
Perempuan disebut isteri karena ia mempunyai suami. Wanita yang sudah menikah disebut isteri. Kata “isteri” berasal dari bahasa sanskerta “Stri“ yang berarti pengikat kasih. Fungsi isteri adalah menjaga jalinan kasih sayang keluarga (suami dan anak anaknya). Anak haruslah dibangun jiwa dan raganya dengan curahan kasih ibu. Prabu Yudistira dalam kitab Mahabharata mengatakan isteri itu sebagai ibu dalam rumah tangga, juga sebagai dewi dan permaisuri. Kata “permaisuri” berasal dari kata parama yang artinya utama dan iswari yang artinya pemimpin Sebagai “dewi” artinya isteri sebagai sinar dalam keluarga dan sebagai permaisuri isteri adalah pemimpin yang utama dalam mengatur tata hubungan, tatagraha, tata bhoga, tata keuangan, dan sebagainya. Adapun tugas dan kewajiban isteri/ibu adalah:
1) Melahirkan dan memelihara anak/putranya serta memberi kebahagiaan kepada suami dan anak-anaknya.
2) Ramah kepada suami dan seluruh anggota keluarga suami.
3) Bersama baik dalam suka maupun dalam duka dengan suami dan anak-anak.
4) Memberi kebahagiaan dan keberuntungan kepada suami dan mertua.
5) Menjadi pengayom bagi seluruh keluarga (Veda Smrthi Bab IX. 26).
6) Berpenampilan lemah lembut dan simpatik. (Rg Weda VII 33.19).
7) Menjadi pelopor kebaikan dalam keluarga (Yajur weda XIV.21).
8) Patuh kepada suaminya (Rg Weda X. 85, 43).
9) Setia kepada suami, senantiasa waspada, tahan uji, menghormat yang lebih tua. (Atharwa weda XIV.1.41, Rg Weda X.85.27, Atharwa Weda XIV.2.20).
10) Isteri sebagai Ibu Rumah Tangga (Atharwa weda).
11) Isteri sebagai penerus keturunan (Manu Smrthi XI.26).
12) Isteri sebagai pembimbing anak (Nitisastra, IV.21).
13) Isteri sebagai penyelenggara aktivitas agama (Manawa dharma sastra VI.28). Kaitannya dengan upacara persembahan (yadnya) dalam kitab Manawa Dharmasastra III.56 disebutkan: di mana wanita tidak dihormati maka tidak ada upacara persembahan yang memberi kebahagiaan dan pahala mulia.

Tugas dan kewajiban Anak
1) Menuntut ilmu pengetahuan (masa brahmacarya)
2) Menghormati orang tuanya (ibu dan bapak) (Sarasamuccaya 239)
3) Menjadi anak yang suputra (menjaga nama baik keluarga, berpengetahuan, cerdik cendekiawan, memiliki wawasan berpikir yang luas dan memiliki budi pekerti yang luhur) (Sarasamuccaya 228).
4) Menyenangkan hati kedua orang tuanya dan tidak boleh berkata kasar kepada orang tuanya.

Om santi-santi-santi Om

Ni Diah Tantri

PENDAHULUAN

Ceritra Tantri memang sudah dari lama dikenal di Bali, baik dalam bentuk prosa maupun puisi, yang memakai basa Bali dan Jawa tengahan. Di dalam masyarakat Bali kita mengenal tiga macam Tantri, yakni Tantri Kamandaka, Tantri Manduka Harana, dan Tantri Pisaca Harana.

Ketiga Tantri tersebut merupakan bentuk kesusantraan (puisi) yang memakai bahasa Jawa tengahan. Penulis mencoba menceritrakan Tantri yang diambil dari bentuk prosa dan puisi Tantri Kamndaka yang mengambil ceritra pertempuran Singa dan lembu Nandaka.

Ceritra ini kami ceritrakan dengan gaya bebas dengan bahasa Indonesia. Sudah barang tentu dalam tulisan ini banyak yang tidak sesuai dengan selera pembaca .Untuk itu penulis mohon dimaafkan. Semoga ceritra ini ada gunanya.
Denpasar ,1999.Penulis I Wayan Tapa

NI DIAH TANTRI I

Diceritakan seorang raja di negeri Patali, beliau amat dihormati oleh para raja yang ada ditanah Jambuwarsa. Setiap tahun tidak lupa menghaturkan upeti/pajak kepdaja sang raja. Beliau raja yang gagah perkasa, berwibawa dan bijak. Pada waktu pemerintahan beliau tak ada masyarakat yang berbuat jahat, semua patuh akan perintah sang raja. Negeri Patali makmur dan sejahtra. Beliau terkenal bernama Eswaryadala. Beliau didampingi oleh patih yang amat bijak bernama Bande Swarya. Ia selalu patuh menjalankan perintah sang raja, disertai para punggawa.Pembantu sang raja semua pandai dan bijaksana melaksanakan roda pemerintahan, sesuai dengan sastra Agama, Kutara dan Manawa.

Sang Patih mempunyai seoarang putri bernama Ni Diah Tantri. Kecantikannya tersohor ke pelosok negeri. Semua gadis di negeri itu maupun di Jambuwarsa tak ada yang menyamai. Demikian juga akan kesohorannya dalam ilmu pengetahuan. Beliau dipuji oleh masyarakat maupun oleh para pendita. Hal ini didengar juga oleh sang Raja Eswaryadala.

Beliau lalu berkehendak menjadikan Ni Diah Tantri pramesuari kerajaan, tapi beliau malu mengungkapkan hal itu pada Patih Bande Swarya. Beliau lalu mencari upaya. Para punggawa, para pendeta utama dan Patih Bande Swarya diundang menghadap ke balai pertemuan. Sang raja megutus Patih Bande Swarya supaya menghaturkan seorang gadis remaja tiap hari ke istana yang akan dijadikan selir. Sang Patih tidak berani menolak, setiap hari ia menghaturkan seorang gadis remaja ke puri.

Lama-lama habislah para gadis remaja yang cantik diaturkan ka istana Hal itu membikin sang Patih Bande Swarya sedih, memikirkan siapa yang akan diaturkan besok ka istana. Sampai di karang kapatihan sang patih masih lengkap dengan pakain kebesasarannya, menuju ka taman seraya tidur di balai-balai. Istrinya Ni Gusti Ayu biang melihat hal itu, lalu segera memenggil anaknya Ni Diah Tantri seraya menyuruh menanyakan kepada ayahnya, mengapa ia bersedih. Ni Diah Tantri dengan senang hati mengikuti perkataan ibunya, seraya pergi ke taman .Ni Diah Tantri duduk didekat kaki ayahnya yang sedang merebahkan diri dibalai-balai. Ni Diah Tantri memgipasi, serta memijiti kaki ayahnya. Patih Bande Swarya segera bangun seraya memeluk anaknya dengan kasih sayang. Ni Diah Tantri menanyakan mengapa ayahnya bersedih. Patih Bande Swarya menceritakan semua perihal yang telah lalu,yang menyebabkan ia bersedih, sambil meneteskan air mata.

Ni Diah Tantri berdiam tunduk mendengarkan cerita ayahnya. Ia juga merasakan bagaimana sedih hati ayahnya sebagai patih yang patuh dan taat menjalankan perintah raja. Diah Tantri lalu menyuruh ayahnya untuk menghaturkan dirinya sendiri. Patih lalu mengadakan pembicaraan dengan istrinya, mengenai anaknya yang akan diaturkan ke istana besok. Setelah mendapat persetujuan besoknya Ni Diah Tantri diajak menghadap ke istana. Sang Prabu Esuaryadala amat bersuka cita, karena cita-citanya telah tercapai untuk mempersunting Diah Tantri yang dari lama menjadi idamannya.

Setelah matahari terbenam .lampu istana sudah dinyalakan, bau bunga memenuhi ruangan menambah keindahan istana. Sang Raja pergi ketempat peraduan disetai Ni Diah Tantri dan seorang dayangnya. Sang raja menelentangkan badannya diatas kasur seraya menyuruh Ni Diah tantri memijiti kaki. Ni Diah Tantri mengikuti perintah sang raja. Setelah larut malam Ni Diah Tantri merasa amat kantuk, matanya rasanya amat berat untuk dibuka. Ni Diah Tantri lalu menyuruh dayangnya mengecilan nyala lampu serta menyuruh dayangnya bercerita untuk menghilangkan kantuk. Dayangnya mengatakan bahwa dirinya tidak bisa bercerita, tapi amat senang kalau mendengarkan cerita. Dayangnya memohon supaya Ni Diah Tantri bercerita sendiri. Ni Diah Tantri pun lalu bercerita sebagai berikut.

1. BAGAWAN DHARMA SWAMI


Adalah seorang pendeta yang amat miskin,bernama Bagawan Dharma Swami. Beliau amat setia melaksanakan tapa semadi dan tiap hari melaksanakan pemujaan pada Hyang Surya. Melihat kesetiaan beliau melaksanakan tapa semadi serta pemujaan pada Hyang Widhi,maka beliau di anugrahi seekor lembu jantan kuat.Bulunya hitam berkilauan. Lembu/sapi itu diberi nama sang Nandaka. Sang pendeta amat suka memelihara sapi itu. Tiap hari beliau mengembalakan sapi itu dalam hutan yang penuh dengan daun dan rerumputan yang hijau. Sapi beliau cepat besar dan gemuk,karena tak kurang makanan..Sudah sore sapi itu dibawa ke pasraman. Demikianlah yang dikerjakan oleh sang pendeta tiap harinya.

Kira-kira sudah setengah bulan beliau memelihara sapi itu, namun belum juga mendatangkan hasil. Beliau lalu ingat akan guru beliau yang dianugrahi seekor sapi putih,yang bernama Nandini. Sapi itu tiap hari bisa menghasilkan susu yang bisa menghidupi gurunya.Sekarang kita diberikan sapi laki,yang tak mungkin bisa menghasilkan susu.Apa yang bisa kita lakukan agar sapi ini bisa memberi manfaat bagi hidup kita. Kalau kita pakai untuk membajak sawah,kita tidak punya tanah sedikitpun.Demikianlah gejolak pikiran sang pendeta..Beliau lalu bermaksud menjadi pedagang kayu api.

Dengan semangat yang besar beliau tiap hari masuk dalam hutan mencari ranting dan cabang kayu yang kering. Sudah berhasil lalu ditaruh diatas punggung sang Nandaka lalu dijual ke pasar.Demikianlah kerja sang pendeta tiap hari. Hasil penjualan kayu api itu dibelikan beras dan lauk pauk. Sisa uangnya disimpan dalam tabungan.Lama-kelamaan tabungan beliau di belikan sapi ,maupun gerobak untuk tempat kayu api yang akan dijial kepasar.Atas kerja keras dan keutamaan sang Nandaka tidak begitu lama sapi beliau sudah menjadi ratusan jumlahnya.Pembantu beliau juga semakin banyak.Emas berlian semakin banyak.Sang pendeta menjadi kaya tak kurang suatu apa.

Pada suatu hari sang pendeta bersama pengiringnya sudah siap membawa dagangan kekota.Ratusan sapi gerobak penuh dengan barang dagangan.Sapi sudah siap berjajar menarik gerobak dagangan,tak luput sang Nandaka yang berada paling belakang.dengan muatan yang paling banyak pula. Sapi-sapi menarik grobak mulai bergerak menuju kota.Perjalan tak pernah berhenti walaupun di tengah hari.Sinar matahari amat tersa menyengat.Pengiring dan sapi berkeringat membasahi tubuhnya. Sudah jauh berjalan dan hari sudah sore,perjalanan sedang dalam hutan rimba yang mengerikan. Hutan itu terkenal bernama hutan Malawa,disana terkenal banyak perampok dan binatang buas yang menakutkan. Matahari semakin condong kebarat. Pendeta Dharma Swami lalu memerintahkan pengiringnya mencari tempat yang aman untuk tempat bermalam. Sang pendeta berjalan menunggang kuda modar-mandir memeriksa pengikut beserta gerobak yang ditarik oleh sapi. Setelah sang pendeta mendapat tempat yang aman untuk bermalam semua pengikut dan barang dagangannya ditempatkan di tengah dan dikelilingi dengan renjau. Semua sapi telah dilepas dari tali gerobak serta diberi makan,namun gerobak yang ditarik oleh sang Nandaka belum juga datang.

Sudah lama menunggu sang Nandaka juga belum datang.Sang pendeta semakin gusar hatinya,Lalu beliau kembali menelusuri jalan yang dilalui tadinya untuk mencari Sang Nandaka. Sang Nandaka yang menarik gerobak yang penuh berisi barang dagangan,erasa kepanasan,seraya berkata dalam hatinya,:Dari dulu semenjak beliau masih miskin tak punya apa-apa kita sudah menarik barang dagangan untuk dijual ke kota,sampai beliau kaya tak kurang suatu apa kita masih juga disuruh menarik gerobak. Malahan bebannya melebihi dari beban yang dibebani pada sapi yang lainnya.

Sama sekali beliau tidak mempunyai rasa berterima kasih apalagi kasihan pada kita.Kekayaan beliau yang berlimpah seperti sekarang juga karena kita. Emas ,perak ,uang serta sapi yang ratusan banyaknya juga dari kita,tapi beliau tetap menyakiti diriku sampai kurus seperti sekarang. Tidak pantas beliau bernama Dharma Swami ,tingkah lakunya amat loba dan tamak,lupa akan bantuan orang lain. Dilihatnya Begawan Dharma Swami datang menunggangi kuda,sang Nandaka segera merebahkan dirinya seperti lumpuh. Badannya gemetar,keringatnya mengucur membasahi badannya. Matanya memblalak,napasnya sesak,kakinya dinaikanya. Sang pendeta segera turun dari kudanya lalu mendekati sang nandaka. Beliau terkejut melihat keadaan sang Nandaka sambil menyuruh pengikutnya melepaskan talinya.

Sudah itu pengikutnya menyiram sang Nandaka dengan air, tapi sang nandaka masih seperti pingsan. Sang pendeta segra mengucapkan weda mantra untuk mengembalikan sang Nandaka sepwerti semula, tapi tidak mempan. Sang Nandaka masih juga tampaknya seperti pingsan. Sang Pendeta bersedih serta menangis seraya berkata,: “ Hai kamu sang Nandaka rela sekali kamu meninggalkan aku mati. Kalau kamu mati disini siapa yang aku suruh menyembelihmu, karena disini alas besar, tak ada tukang potong sapi yang lalu kemari.. Kasihan sekali dagingmu terbuang tak berguna,tak ada yang membelinya. Hai kamu Kembar dan Wijil kamu menunggu disini.Kalau ia bisa idup kembali,bawa ia ketempat penginapan dan muati ia barang dagangan semampunya, kalau ia mati bangkainya kamu bakar saja. Kalau ada orang yang lalu kemari dagingnya kamu jual saja,kalau ia tidak mau membeli silahkan beri minta dengan cuma-cuma.

Sang Pendeta segra naik kuda dan pergi menuju tempat penginapan. Kembar dan Wijil ,menyesalkan perbuatan sang pendeta yang tamak dan loba,serta tidak mempunyai rasa berterimakasih apalagi kasihan terhadap Sang Nandaka yang telah banyak berkorban untuk kesejahtraan sang pendeta.I Kembar berkata,:Bagaimana akal kita sekarang,sebab disini hutan yang besar dan berbahaya.Kita berdua akan menemui bahaya. Sekarang mari kita ikuti perjalanan sang pendeta ke tempat penginapan .”Ah jangan kita sudah berjanji menunggu sang nandaka disini. Sekarang mari kita carikan kayu api kumpulkan dari tempat sang Nandaka sampai jarak yang agak jauh. Dari situ kita bakar kayu api itu,sebab tidak boleh membakar orang yang masih hidup karena akan membawa bencana besar. Kita perkirakan api itu sampai ditempat ini, sang Nandaka sudah mati. Keduanya sudah setuju, lalu mereka mengumpulkan kayu api ,serta membakar ujung timbunan kayu yang jauh dari tempatnya Sang Nandaka.

Habis membakar kayu itu kedua pengikut sang pendeta berlari menuju tempat penginapan dan menyampaikan pada sang pendeta bahwa Sang Nandaka telah mati serta telah dibakar. Setelah Kembar dan Wijil pergi ke penginapan ,Sang Nandaka sewgera bangun dan pergi .Ia dalam keadaan sehat takkurang suatu apa.Sang Nandaka mencari makanan yang banyak ada disekitarnya. Setiap hari ia menikmati hijaunya rerumputan ,maupun suburnya dedaunan,sehingga tak berselang lama badannya kembali sebagai sedia kala. Perutnya besar,badannya kokoh ,bulunya hitam mengkilat,tanduknya runcing menakutkan.

Dalam hutan Malawa itu ada raja hutan bernama Sang Singa ,Ia sangat ditakuti oleh binatang lainnya.Sang Singa mempunyai beberapa punggawa dan mantri,dan prajurit yang andal. Semua mantra ,punggawa maupun prajuritnya adalah para anjing ,yang semuanya sangat setia pada sang raja.

Pada suatu hari para Sang Singa sedang mengadakan pertemuan dengan para pengikutnya dibawah pohon jati yang dedaunannya sedang rimbun,didepan goa besar Tampak hadir waktu itu Sambada,yang jongkok paling depan, disertai temannya para anjing. Semua bersuka ria,ada yang bercanda ada yang saling cakar.Suaranya memecah kesunyian hutan.Sang Singa amat suka melihatnya,lalu menyuruh pergi berburu mencari mangsanya.Para anjing tidak ada yang berani menolak ,semua berangkat masuk kedalam hutan,gunung,ada juga yang masuk kedalam jurang. Setelah lama berburu,mereka tidak ada menemui buruan. Para anjing amat sedih,karena sudah lama berburu namun tak mendapat buruan,Keringatnya mengucur membasahi sekujur tubuhnya, Sengatan panas matahari menambah kepayahan,jalannya terseok-seok kelaparan, Semua prajurit anjing itu berhenti dibawah pohon tangi untuk melepas lelah. Ada yang jongkok ada yang merebahkan badannya sambil omong-omong. Waktu itu ada yang mengatakan ,lebih baik kita pulang untuk menyampaikan pada raja,bahwa kita tak dapat buruan walaupun sudah susah payah mencarinya. Yang lain menjawab,” Ini ada tutur dalam purana yang pernah saya dengar. Kewajiban seorang abdi pada sang raja,harusnya tidak merasakan pahit getirnya bahaya. Seorang abdi tidak boleh merasa takut,harus patuh menjalankan tugas,walaupn akan kehilangan nyawa,harus dihadapi. Karena itulah yang dipakai untuk membayar kasih sayang sang raja. Nah kalau menurut pikiranku lebih baik kita kembali lagi berburu,semoga sekarang ada nasib baik mendapat buruan.Semua prajurit aning itu berangkat kembali mencari buruan. Para anjing menyebar kesegala penjuru.

Pada waktu itu ada prajurit anjing yang menemukan sang Nandaka. Para prajurit anjing itu tercengang melihat Sang Nandaka. “Ah apa itu ,coba kamu lihat binatang yang amat besar! Dari dulu aku tidak pernah menjumpai binatang seperti ini besarnya. Sekarang marilah kita bersama serang,tapi kita harus hati-hati. Para prajurit anjing serempak mendekat disertai suara menggonggong bak membelah langit. Prajurit anjing iu segera mengitari tempat sang Nandaka yang sedang tidur-tiduran diatas rumput yang menghijau, sambil mengunyah dedaunan .Hatinya amat suka melihat tumbuhan yang subur diantara ilalang yang memenuhi tebing-tebing bebukitan. Sedang asik ia menikmati makanan dan keindahan alam ,terdengar olehnya raungan angjing yang semakin lama semakin dekat.

Sang Nandaka bergegas bangun sambil melihat kanan kiri.Tampak olehnya prajurit anjing datang mendekat padanya . Para prajurit anjing itu amat senang hatinya melihat buruannya gemuk dan besar.”Nah ini buruan yang baik untuk dijadikan mangsa sang raja, mari kita rebut bersama,jangan takut “ demikian ucapan salah satu anjing sambil segera mendekat. Anjing yang lain berkata,”Nanti dulu,sebab baru kali ini kita menemui binatang seperti ini.Mari kita pikirkan lebih dahulu supaya tindakan kita bisa mencelakakan kita. Lebih baik kita sampaikan hal ini pada raja” “Ah jangan ,kita berbanyak ,kita serang bersama,jelas ia akan kalah”. Semua prajurit anjing bersorak mendekat, ada yang dari belakang ada juga dari depan.

Sang Nandaka bersiap untuk melawan,ia amat marah, matanya memblalak merah,tanduknya yang tajam diacung-acungkannya. Sang nandaka menandukkan tanduknya pada bebukitan,yang mengakibatkan bebatuan beterbangan . Banyak prahurit anjing itu yang terkena batu dan tandukan sang Nandaka .Ada yang patah kakinya adanya mati adayang perutnya terurai keluar. Darahnya berceceran meenuhi rerumputan yang hijau.Anjing yang luka berlarian menjauh dari amukan sang Nandaka. Anjing yang lain amat takut tak ada yang berani mendekat,semua lari bersembunyi, Pemimpin prajurit anjing yang bernama I Nohan Dan Itatit segera berkata,” Hai kamu prajurit .Mengapa kamu takut kepada binatang yang memang menjadi makananmu?.Kamu datang kemari adalah utusan sang prabu untuk mencari buruan.Sepatutnya kamu merasa malu,karena kamu dari dulu disayangi dan dikasihi oleh sang raja.Kamu tak usah takut mati untuk membalas jasa sang raja.Sebab nantinya kamu akan memproleh kesejahtraan lahir batin karena kamu melaksanakan dharmamu sebagai prajurit,Mendengar kata kata pimpinannya demikian para anjing kembali menyerang Sang Nandaka.Ada yang menggigit kaki,ada yang menggigit ekor,tapi sang Nandaka tidak khawatir.Ia menerjang dengan tanduknya ,menyebabkan para anjing itu terpelanting jatuh . Ada yang terjatuh kejurang,ada yang patah kaki maupun pinggangnya.

Banyak yang mati disepak maupun diinjak-injak.Para anjing itu berlarian menyembunyikan diri.Si Nohan dan Tatit tak bisa berbuat apa-apa melihat prajuritnya berlarian .Para prajurit anjing itu memutuskan kembali menghadap sang raja Setelah sampai dihadapan sang Singa semua gemetar ketakutan seraya berkata,”Ya raja kami semua mohon maaf karena kami tak berhasil melaksanakan tugas yang tuanku limpahkan.Semua prajurit takut gemetaran, malah banyak yang mati maupun yang luka-luka.Baru kali ini kami melihat binatang yang besar dan bagus.Bulunya hitam mengkilat, tanduknya tajam menyilaukan, suaranya besar bagaikan meruntuhkan gunung.Benar-benar amat menakutkan sekali ,namun mengenai namanya kami tidak tahu.” Mendengar perkataan prajuritnya gemetaran,sang raja tercengang terdiam .Sang Sambada pemuka para anjing yang turut mendengarkan segera berkata,” Hai kamu para anjing yang dari dulu menjadi andalan sang raja.

Aku heran mengapa kamu takut hanya baru mendengar suara yang besar. Belum tentu orang yang bersuara besar mempunyai kesaktian dan kekuatan yang hebat.Itu hanya suatu siasat untuk menakut-nakuti musuh saja. Dengarkan baik-baik ,aku mau menceritakan sesuatu yang bersuara besar tidak mempunyai kekuatan sebagaimana yang kamu takuti. Adalah seorang raja di Kusambinegara,yang bernama Sri Wisnu Gupta. Kerajaan beliau didatangi musuh dari empat arah. Peperangan terjadi amat hebat.Satu sama lainnya saling serang. Banyak prajurit yang mati,ada yang luka parah ada juga yang patah tulang kena tombak. Karena kesaktian sang raja Sri Wisnu Gupta, semua musuh kalah,tak seorang berani melawan.

Prajurit Kusambi bersorak kegirangan.suanya gemuruh, dibarengi oleh suara gambelan yang riuh,bagaikan akan mebelah bumi. Setelah pertempuran aku pergi ketengah medan pertempuran. Disana aku lihat banyak mayat bergelimpangan. Kucuran darah mengalir. Aku meminum darah sesuka hati. Tapi ada sesuatu yang menjadi tujuanku belum aku dapati,yakni yang mengeluarkan suara besar dalam pertempuran.Aku pergi kesana-kemari untuk mencarinya. Akhirnya aku bisa mendapatkannya, yaitu benda yang besar yang dibuang oleh prajurit yang berperang. Aku segera menggit, mengoyak-oyak sampai robek. Aku keheranan karena didalamnya hanya lubang besar lagi kosong melongpong tak ada isinya. Aku kira benda itu mempunyai daging banyak dan darah yang melimpah, tapi baru ku perhatikan hanya sebuah kendang yang melompong. Oleh karena itu jangan kamu takut akan suara yang besar. Contohnya seperti apa yang aku ceritakan tadi. Kalau orang yang pemberani dan mersa diri perkasa tidak akan mersa takut menghadapi musuh apalagi cuma baru mendengar suara yang besar.

Begitu kata sang Sembada menasehati prajuritnya. Para prajurit anjing hatinya senang mendengar nasehat sang Sambada.Timbulah keberaniannya untuk menantang musuhnya kembali. Sang prabu Singa melihat prajuritnya yang datang menghadap banyak yang luka berceceran darah. Timbul dalam pikiran beliau,dari dulu tak ada musuh yang sehebat ini,yang bisa mengalahkan prajuritku.,seraya berkata,” Sekarang aku akan menghadapinya. Bagaimana rupa dan kesaktiannya”. Sang Singa segera berangkat, bersama pengikutnya. Prajurit anjing melolong menyusup dalam hutan, Suaranya tak putus-putus menggonggong.

Gunung tersa terbelah, hutan hancur karena terjangan sang singa yang diliputi amarah. Binatang–binatang berlarian menyembunyikan diri. Sang Nandaka sudah habis membersihkan diri dalam kolam yang airnya suci ening, Banyak bunga berwarna-warni, menarik minat para kumbang untuk mengisap madunya. Tampak sang Nandaka menikmati keindahan hutan,yang penuh dengan bermacam panorama Di bawah pohon beringin yang rindang sang Nandaka berbaring berteduh,sambil mengunyah rumput yang hijau. Mendengar suara anjing yang gemuruh Sang Nandaka bngun dari tempat pembaringan lalu menoleh kanan kiri. Tampak para prajurit anjing datang. Sang Nandaka segera mencari tempat perbukitan.Tanduknya yang tajam diasahnya pada bebatuan,matanya memblalak merah,seperti keluar api yang akan membakar hutan. Para prajurit anjing merasa ketakutan, semua mencari tempat berlindung dari serangan sang Nandaka.Tak seekorpun yang berani mendekat, semuasaling menoleh temannya.Semua berdiam tak ada yang bergerak maju,menunggu kedatangan sang Singa.

Raja hutan pun datang,jalannya lambat,karena terkejutmelihat binatang yang besar berkulit hitam mengkilat,Hatinya juga merasa ketakutan,lalu berdiam di kejauhan seraya bertanya,” hai kamu binatang yang besar,baru kali ini aku melihat binatang sepertimu? Tidak ada seekor binatang yang berani masuk kedalam hutan yang berbahaya ini. Banyak jurang yang dalam,gua yang lebar dan membahayakan.Aku adalah penguasa hutan ini, namaku raja Singa. Siapakah nama tuan,dan dari mana? Sang Nandaka berkata,”Tuan raja hutan , Saya bernama Sang Nandaka.Saya dijadikan anak oleh sang Aruna dan Sang Surabi. Kedatangan saya kemari adalah untuk menikmatai keindahan dan mencari makanan .” Sang Singa berkata dengan lemah lembut, ”Hai Tuan kalau demikian, tuan adalah putra para dewata yang utama. Tuan adalah merupakan tunggangan dewa utama yakni Bhatara Guru. Kalau demikian saya mohon dengan hormat ,kiranya tuan bisa menjadi teman karib ku. Janganlah tuan cepat-cepat pergi dari sini. Silahkan tuan menikmati makanan yang tuan inginkan.Saya bermaksud belajar dari tuan,semoga tuan bisa menerma saya,sebagai murid tuan. Muah-mudahan dari tuntunan tuan saya bisa mencapai kebahagian lahir batin.

Sang Nandaka menjawab,” Saya kira itu amat sulit bisa terjadi,karena tuan adalah seorang raja yang berkuasa, penuh dengan kekayaan. Demikian juga tuan makan daging,namun hamba makan rumput serta hamba binatang yang hina miskin tak mempunyai kekayaan. Tapi kalau tuan kepingin berteman pada hamba, maafkan arta, kama, tak bisa hamba persembahkan. Barangkali yang dapat hamba persembahkan adalah dharma, isi dari ajaran suci, kalau hal itu yang tuanku hedaki dengan senang hati hamba akan coba sampaikan. Semoga isi kitab sastra agama yang menjadi pegangan para pandeta bisa membawa umatnya untuk mencapai kesejahtraan dunia dan akhirat nanti.Hamba kira tuan sebagai seorang raja mengutamakan kesenangan indria,penuh dengan harta yang bergelimpangan, serta kepurusan, kegagah beranian, tak tertandingi oleh sesama,dan menguasai pengetahuan,demikian juga kerupawanan.Hal inilah yang biasanya menimbulkan rasa,loba,murka, mabuk diri. Tuanku sang raja hutan, kekayaan, kerupawnan, tidak akan dibawa mati.Tingkah laku yang baik atau buruklah yang akan menuntun kita keduni sana. Itulah sebabnya orang yang bijak dharmal selalu diperbuatnya.Menghindari pergaulan dengan orang jahat,karena orang demikian selalu berbuat tidak benar,selalu berbuat dirsila,menyakiti dunia ini,dan pembunuhan,menghina sang pandita.”

Amat senang hati sang Singa mendengar nasehat sang Nandaka,seperti air suci yang menghanyutkan kotoran yang ada dalam pikirannya seraya berkata merendah, “Ya tuanku Sang Nandaka ,seperti pohon yang kekeringan mendapat hujan hati saya mendengar perkataan tuan. Saya harap tuan bisa melanjutkan tuntunan anda terhadap diri hamba yang nista ini. Kalau anda pikirkan semua kata anda adalah baik,karena keluar dari mulut orang suci seperti anda.yang penuh dengan ajaran dharma. Itu sebabnya hamba harap anda bisa melebur dosa-dosa hamba yang telah namba perbuat, melepas hamba dari neraka. Hamba menyerahkan diri sebagai siswa,untuk selalu diberi tuntunan suci dari guru. Dari sekarang hamba tidak lagi memakan daging,membunuh sesama mahluk, dan akan belajar makan rumput.”

Sang Nandaka berkata,” Kalau tuan memang mempunyai pikiran yang menjauhkan diri dari perbuatan jahat,dan berusaha berbuat sesuai dengan ajaran dharma, mempelajari isi sastra suci, hamba akan menuruti permintaan tuanku. Sang Singa amat senang hatinya sebab telah diakui sebagai teman baik oleh sang Nandaka.Keduanya tiap hari selalu melaksanakan tapa brata semadi, mempelajari isi kitab sastra agama, makan rumput ,alang-alang.Tidak masih melakukan pembunuhan atau makan daging. Para anjing bersedih karena sang Singa sudah berubah perangainya,selalu bersama sang Nandaka makan rumput maupun dedaunan.Anjin-anjing tidak bisa makan rumput mengikuti tuannya. Oleh karena itu para anjing mengadakan pertemuan dibawah pohon yang dipimpin oleh sang Sambada. Sang Tatit mengatakan pada sang Sambada,bahwa anjing-anjing tidak mampu makan dedaunan, hingga sudah banyak anjing yang kelaparan. Badannya sudah mulai kurus, tidak tahan menanggung kelaparan. Sambada lalu berkata,” Haikamu Tatit dan anjing sekalian, perbuatan raja Singa tak beda dengan crita burung atat/ kakak tua yang selalu turut dengan yang menemaninya. Sekarang saya akan ceritakan padamu, dengarkanlah baik-baik.

2. Burung Kakak Tua

Ada sebuah kerajaan bernama Usinara,rajanya bernama Sri Adi Pati. Kerajaan beliau aman , tak ada musuh yang berani mengusiknya. Hal ini diakibatkan oleh kesaktian dan kepandaian beliau dalam memegang pemerintahan. Luas daerah kekuasaan beliau amat luas. Di empat sisi kerajaan beliau djaga ketat oleh prajurit yang dipimpin oleh seorang mentri.Para mentri itu sudah diberi surat lepercayaan untuk menjaga kedatangan musuh dari luar.Adapun isi surat tersebut adalah bahwa sang mentri berempat tidak diperkenankan menghadap ke puri. Ia harus tetap diam menjaga keutuhan/keamanan negara.

Mungkin sudah takdir raja Sri Adi Pati berpulang. Beliau digantikan oleh putranya yang bernama Sri Gajah Druma .Belaiu mempunyai empat punggawa yang masih muda-muda yang haus dengan kedudukan yang tinggi,walaupun kemampuannya belum cukup. Ke empat punggawanya itu amat disayangi oleh Sri Gajah Druma,apa permintaannya dikabulkan oleh sang raja.Pada suatu ketika keempat punggawa itu memohon pada raja untuk menggantikan empat mentri wreda yang sudah dari dulu membantu pemerintahan sang raja. Permohonan keempat punggawa itu dikabulkan oleh sang raja. Keempat punggawa itu pergi menghadap paramentri Wreda serta menyampaikan perintah raja untuk menhadap ke Istana. Keempat mentri Wreda itu tidak mau menghadap keistana,karena mereka tidak berani melanggar janji yang telah ditetapkan oleh raja Sri Adi Pati yang telah meninggal dunia.

Mendengar hal itu Raja Gajah Druma amat marah,lalu mengutus kembali keempat punggawa dengan disertai surat perintah sang raja. Masing-masing punggawa itu telah mengahadap pada masing mentri dengan menyerahkan surat perintah raja. Setelah para mentri membaca isi surat printah itu,mereka berempat mempunyai tekad yang bulat untuk tetap setia mengikuti sumpah yang pernah diucapkan pada sang Raja yang telah meninggal. Para mentri berkata,” Tuanku, sampaikan pada sang raja,saya tidak akan menghadp sang raja,karena saya tidak berani melanggar sumpah yang telah kami ucapkan pada sang raja yang telah meninggal. Dulu Raja dewata memerintahkan saya, tidak boleh meninggalgalkan tempat ini,demi menjaga keutuhan kerajaan.ini. Bukannya kami mnentang preintah beliau tapi karena kami harus menjaga perintah ayah beliau yang memberi kami surat perintah waktu lalu, yang melarang kami menghadap keistana.Untuk membuktikan kesetian kami pada raja Sri Gajah Druma,tolong samapikan surat ini pada belaiu beserta kepala kami” Demikian pesan Mantri Wreda lalu pergi mensucikan diri serta mengadakan semadi,mohon diberi jalan kebenaran. Setlah itu Mentri Wreda Memotong lehernya seraya diserahkan pada para punggawa itu.Para punggawa segera kembali dengan membawa surat dan kepala mentri wreda.Hatinya suka karena akan segera bisa menjadi mentri..

Keempat punggawa itu datang bersamaan dihadapan sang raja seraya menghaturkan surat dan kepala mentri wreda kepada raja Sri Gajah Druma, beserta harta benda kekayaan para mentri,seraya isti dan anak-anak mentri yang telah meninggal. Raja Gajah Druma amat sedih melihat hal itu,apalagi setelah membaca surat wasiat ayahanda sang prabu Sri Adi Pati yang baru saja disampaikan oleh para punggawa beliau.Raja Gajah Druma amal menyesal, karena mengabulkan permintaan para punggawa muda yang serakah itu.Beliau merasakan bagaimana setia para mentri wreda melaksanakan tugas yang telah ditetapkan oleh leluhur beliau. Tapi apa hendak dikata nasi sudah jadi bubur.

Setelah beberapa bulan raja Sri Gajah Druma menjalankan pemerintahan dibantu oleh para mentri muda, kerajaan belaiu didatangi musuh dari luar. Para mentri muda kerajaan tidak bisa menahan serangan musuh tersebut. Para prajurit semua berlarian menyembunyikan diri,untuk menghindari serangan musuh. Banyak yang menemui ajalnya,sisanya masuk kedalam hutan .Demikian juga Sri Gajah Druma turut masuk kedalam hutan,meninggalkan kerajaan. Tibalah beliau dalam hutan yang lebat, penuh dengan semak belukar menumbuhi jurng dan lereng gunung. Raja Gajah Druma merasa kepayahan lalu duduk di bawah pohon yang rindang. Beliau melepaskan lelah dengan menyandarkan dirinya di batang pohon Waktu itu tampak olehnya seekor burung kakak tua kepunyaan seorang pemburu.Burung kakak tua itu bersuara tidak henti hentinya. “ Buru ,kejar terus! Ini ia sembunyi disini. Cepat tangkap,bunuh.” Raja gajah Druma maupun pengikutnya amat takut mendengar suara burung kakak tua yang kasar itu. RajaDruma segera lari menuju hutan yang lain,jurang kali yang membahayakan banyak dilalui.Sampailah ia di sebuah asrama lalu beliau berhenti. Baru saja beliau akan duduk,dilihatnya burung kakak tua bergantung diserambi asrama.Raja Gajah Druma tengkejut,lalu melangkah keluar.Burung kaka tua itu cepat berkata,”Tuanku Raja,tunggulah sebentar! Sang Pendeta yang empunya asrama ini masih sedang ada di dalam. Silahkan tunggu, Tuanku jangan mersa cemas. Beliau sudah mau datang menjemput tuan,dengan menghaturkan sajian.

Tak lama datanglah para pertapa membawa tempat air suci pembasuh kaki ,beserta buah-buahan sebagai serana penyambutn sang raja. Raja Gajah Druma amat senang hatinya menerima suguhan para pertapa itu seraya menceritakan kedatangan beliau ke asrama ,karena kerajaan beliau dikalahkan musuh. Raja Gajah Druma juga menanyakan perihal burung kakak tua yang ditemui dalam hutan berbeda dengan burung kakak tua yang dipelihara di pasraman. Burung kakak tua berkata manis,” Tuanku dengarkanlah dengan baik.Burung yang tuanku temui dalam hutan tadi,berbeda dengan diri hamba yang dipelihara oleh sang pendeta suci.Tiap hari hamba mendengarkan weda sruti,tutur utama yang selalu dipelajari.tapi burung kakak tua yang ada dalam hutan kepunyaan pemburu,ia selalu mendengarkan kata-kata yang keras dan kasar,itulah yang mempengaruhi dirinya.Ia akan selalu mniru apa yang didengarnya dan dilihatnya.

Demikian juga tuanku raja yang percaya pada katakata empat punggawa yang serakah,yang hanya menginginkan kedudukan yang tinggi dengan tidak melihat kemampuannya untuk menata keutuhan negara. Demikian juga tidak tahu membedakan perbuatan/tindakan masyarakat yang baik atau buruk. Beginilah hasilnya seperti apa yang tuan rasakan sekarang. Tak ada guna kekayaan dan keindahan istana tuan. Demikian juaga peri laku sang prabu singa,yang selalu ikut dengan sang Nandaka,ikut makan rumput,Tapi kamu jangan sedih. Sekarang saya akan mencari daya upaya,supaya ia berdua berpisah berteman. Demikianlah cerita Sang Sambada pada para anjing.

Selasa, 21 Desember 2010

Penyebab Penyakit Menurut Ayurveda

Penyebab Sakit Menurut Ayur Veda
Oleh : Ngurah Nala (Universitas Hindu Indonesia)

Penyebab penyakit amat banyak ragamnya. Orang jatuh sakit dapat karena terserang kuman penyakit, dapat pula karena jatuh, tertimpa pohon, kehujanan, kepanasan, kena debu, posisi kerja yang salah, karena sejak lahir sudah mengidap penyakit dan sebagainya. Menurut kitab Ayurveda, untuk memudahkan dalam pengobatannya, penyebab sakit perlu dikelompokkan. Penrebab penyakit ini dapat dikelompokkan dalam 3 golongan, yakni:

1. Pradnyaparadha:
Yang dimaksud ke dalam kelompok pradnyaparadha ini adalah penyebab sakit yang tergolong dalam perbuatan yang tidak wajar dan dhi (intelek), dhrti (kesadaran) dan smrti (ingatan). Bila seseorang berbuat yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, mempergunakan kepandaiannyauntuk menipu, korupsi, mencuri dan perbuatan adharma lainnya, maka dia akan menderita tekanan batin. Perasaarinya selalu berasa bersalah, sehingga lama kelamaan dia akan jauh sakit. Mengumbar nafsu serakah, marah, mabukmabukan, juga menyebabkan badan menjadi sakit. Dengan sadar mengisap rokok berlebihan, mengisap ganja, narkotika, mengumbar nafsu seksual, obat terlarang, akan menyebabkan badan menjadi sakit.

2. Asatmyendriyartha samyoga:
Kelompok asatmyendriyartha samyoga ini terdiri atas penyebab sakit yang berupa penggunaan panca inderiya yang menyimpang, baik dalam hal penglihatan, pendengaran, penghiduan (penciuman), pengecapan dan perabaan. Misalnya melihat agak lama matahari ketika tengah han, dapat menyebabkan mata menjadi sakit. Mendengar bunyi yang terlalu keras sehingga telinga menjadi sakit. Mencium bau yang menyengat (mengandung racun) akan menyebabkan daya penciuman berkurang. Meminum air panas, mengakibatkan lidah terluka, sehingga pengecapan menjadi kurang berfungsi. Kulit yang terluka atau terlalu tebal, akan mengurangi kepekaan rasa perabaan. Dan berbagai penyimpangan penggunaan panca indera yang tidak normal.

3. Kala parinama:
Kelompok kala parinama ini merupakan berbagai penyebab sakit atau kelainan yang muncul akibat adanya pergantian suhu dari dingin menjadi panas, dari kering menjadi hujan atau sebaliknya, sebagai akibat dari sifat khas dari setiap musim. Anak-anak amat peka terhadap perubahan suhu ini. Mereka cepat jatuh sakit, seperti terkena pilek, demam, batuk dan sebagainya. Pada musim hujan akan lebih banyak muncul penyakit terutama pada alat pencernaan, seperti menceret, mules, karena makanan yang dimakan pada umumnya berada dalam keadaan lembab, cepat busuk, banyak lalat dan sebagainya. Sedangkan pada musim kering akan lebih banyak muncul penyakit pada jalan nafas, seperti pilek, batuk dan sejenisnya, disebabkan udara kering serta banyak debu beterbangan. Udara yang kotor inilah yang dihirup oleh hidung.
Dengan pembagian penyebab penyakit seperti ini, para vaidhya atau dokter Ayurveda akan dengan mudah memilihkan obat atau cara pengobatan untuk menyembuhkan penyakitnya. •WHD No. 420 Pebruari 2002.

Peranan Desa Adat dalam Menunjang Pariwisata Budaya Era Globalisasi

Peranan Desa Adat dalam Menunjang Pariwisata Budaya Era Globalisasi

Oleh : I Wayan Nika

Pembangunan Bali, khususnya di bidang kepariwisataan patut mendapat perhatian yang kritis dari semua pihak, utamanya dari kalangan akademisi. Dengan perhatian yang sungguh-sungguh, pembangunan diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat tanpa mengorbankan nilai-nilai luhur yang merupakan jiwa kebudayaan Bali dan umat Hindu pendukungnya. Ajaran agama mendorong umat-Nya untuk mewujudkan kemakmuran sebesar-besarnya dengan kerja keras, tetapi senantiasa berlandaskan dharma, yakni moralitas dan etika yang luhur. Demikian pula sebagai salah satu asset bangsa, Bali sangat berperanan dalam pengembangan pariwisata di Indonesia.

Semua pihak menyadari bahwa pembangunan pariwisata di Bali memberikan dampak positif bagi kesejahtraan masyarakat, tetapi di balik dampak positif itu tentu tidak lepas dari sisi negatifnya, yang bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh nantinya dapat merupakan penyakit yang dapat menggerogoti budaya Bali yang akarnya adalah agama Hindu; daun, bunga, dan buahnya adalah kepariwisataan, yang telah nyata dinikmati oleh wisatawan dan profitnya dinikmati langsung oleh kalangan pengelola kepariwisataan. Bila pengembang atau investor hanya berorientasi pada profit belaka dan mengeksploitasi habis-habisan budaya Bali, tanpa memperhatikan pelestarian budaya dan masyarakat Bali, maka mereka (para investor itu) adalah drakula budaya, yang hanya mengisap darah dan potensi budaya Bali, lalu pergi seperti dinyatakan oleh Bagus (Bali Post, 23 Juni 1999).
Selanjutnya, bila kita ingin melihat Bali secara komprehensif, sorotan kita tidak dapat lepas untuk melihat masyarakat Bali sebagai satu persekutuan hukum yang disebut dengan desa pakraman yang alam perkembangannya dewasa ini lebih populer disebut dengan nama desa adat. Desa adat atau desa pakraman mengatur hubungan manusia dengan dengan Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewata dan Leluhur disebut parhyangan, dengan sesamanya yang disebut pawongan, dan dengan alam lingkungannya disebut palemahan. Ketiga komponen ini menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali.
Bersentuhannya masyarakat Bali dengan kepariwisataan, terjadi sentuhan antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, dan masyarakat Bali telah menetapkan kebijaksanaan pengembangan kepariwisataan yang menekankan pada kebudayaan. Pariwisata ini kemudian populer dikenal dengan istilah pariwisata budaya. Bagaimanakah interaksi antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, merupakan hal yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Telah disebutkan sepintas pada latar belakang di atas, bahwa dengan terjadinya kontak, sentuhan atau interaksi antara desa adat Bali dengan kepariwisataan, di samping memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan masyarakat Bali, tidak dapat dihindari adalah dampak negatifnya yang bila dibiarkan akan mengganggu stabilitas dan bahkan mengancam kehidupan dan kelestarian budaya dan masyarakat Bali. Berbagai permasalahan tersebut di antaranya masalah kependudukan, beralihfungsinya lahan pertanian, dilanggarnya sempadan pantai dan kawasan suci (untuk kepentingan ritual), diusiknya areal kawasan suci dengan pembangunan akomodasi (hotel atau bungalow) dan restaurant dan yang sungguh mengerikan adalah masalah kependudukan, yang dalam waktu kurang dari setahun jumlah penduduk di Bali meningkat hampir 50 % dan umumnya mereka datang dari Jawa dan Lombok, guna mengais rezeki di Bali khususnya di kawasan pariwisata.
Selanjutnya untuk memudahkan pemecahan masalah, maka beberapa permasalahan tersebut di atas kami rumuskan sebagai berikut.
(1). Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan pariwisata budaya?
(2). Bagaimanakah peranan Desa adat Bali dalam pengembangan pariwisata budaya
di era globalisasi dewasa ini, dan
(3). Mampukah Desa adat Bali menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi ini,
mengingat Bali sebagai satu daerah yang terbuka sebagai konskuensi bagian
negara kesatuan Indonesia?
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk dapat menjelaskan tentang makna pariwisata, khususnya pariwisata budaya, mencari solusi terhadap berbagai masalah termasuk usulan untuk mengembangkan kawasan judi, sebagai salah satu alternatif pengembangan kepariwisataan sehingga diharapkan mampu menyatukan visi dan missi tentang pengembangan kepariwisataan di daerah ini. Melalui tulisan ini diharapkan muncul pemikiran dan langkah kearifan dan kebijaksanaan terhadap pelestarian budaya Bali, khususnya desa adat Bali. Di pihak lain tetap berkembangnya pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) seperti hangat dibicarakan oleh kalangan akademisi dewasa ini.

II. GAMBARAN UMUM DESA ADAT DI BALI

2.1 Perkembangan Desa adat di Bali
Lembaga tradisional adalah institusi yang sudah ada sejak zaman dahulu, dipelihara dan ditaati secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap masyarakat hukum adat di Indonesia mengenal atau pernah mengenal lembaga tradisional tersebut. Nama atau penyebutannya pun berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula sejarah timbulnya lembaga tradisional ini tentu tidaklah dalam kurun waktu yang bersamaan. Di antara lembaga-lembaga tradisional itu, ada yang telah musnah sama sekali, ada pula yang masih ajeg dan lestari yang merupakan aset bangsa yang sangat luhur. Salah satu di antara beberapa lembaga tradisional yang masih ajeg di bumi Nusantara ini, adalah desa adat Bali, yang secara tradisional dikenal oleh masyarakat Bali dengan Desa pakraman atau Desa Dresta.
Desa adat Bali, desa pakraman atau desa dresta ini memiliki sejarah sangat tua dan sudah disebutkan dalam beberapa prasasti Bali Kuno seperti prasasti Bwahan (Saka 947) di bawah raja Sri Dharmawangsa Wardhana, prasasti Bebetin (Saka 896), prasasti Sembiran bertahun Saka 987 (Oka, 1999: 2).
Pada prasasti Bwahan A (Saka 916) antara lain disebutkan: .......karaman i wingkang ranu Bwahan........yang artinya masyarakat di desa Bintang Danu yaitu Bwahan (Goris, 1954: 83). Pada masa Bali Kuno tersebut masyarakat hidup dalam satu ikatan kesatuan yang disebut wanua, yakni satu wilayah dengan luas tertentu yang merupakan satu kesatuan hukum di bawah pimpinan Sanat, Tuha-tuha dan Tulaga yang berarti kelompok. Prasasti trunyan (Saka 911)menyebutkan : .... Kumpi Dyah Sanat, sedang prasasti Srokadan (Saka 915) menyebutkan kelompok Sarwa Tulaga, dan lain-lain. setelah mantapnya pengaruh Hindu di Bali, istilah wanua dipakai untuk menyatakan wilayah atau disebut juga dengan nama thani seperti disebutkan dalam prasasi Serai II (Saka 915) yang memakai bahasa Bali Kuno. Dalam prasasti Bwahan A (Saka 916) terdapat kata karaman yang berarti satu kelompok masyarakat yang mendiami satu wilayah permukiman tertentu atau berarti pula sebagai kumpulan orang-orang tua (yang sudah berkeluarga). Dari kata karaman ini kemudian menjadi kata krama yang berarti anggota (masyarakat desa) dan pakraman (Desa pakraman) yang menunjukkan wilayah. Kata desa berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna tempat atau petunjuk (Oka, 1999: 2). Dr. I Made Titib, setelah membandingkan kata krama dengan grama di dalam bahasa Sanskerta yang mengandung arti desa (village) menyatakan bahwa kata krama dalam bahasa Bali Kuno tersebut rupanya berasal dari perubahan kata grama tersebut, dan kini pun dalam bahasa Hindi, grama artinya desa (Wawancara, 11 Agustus, 1999).
Ada pun yang dimaksud dengan adat adalah istilah yang pada mulanya berasal dari bahasa Arab yang menurut ahli hukum adat bernama Van Vollenhoven berarti kebiasaan atau adat-kebiasaan (Purwita,1984:4). Selanjutnya, istilah desa adat yang sekarang dikenal, pada mulanya dikenal dengan sebutan desa saja. Akan tetapi, dengan adanya pembentukan desa yang lain oleh pemerintah Belanda, yang mempunyai tugas khusus dalam penanganan administrasi pemerintah di tingkat bawah, terjadilah kerancuan pengertian desa. Oleh karena itu, untuk memberikan pembedaan yang tegas, maka desa yang berbeda fungsi dan tugasnya tersebut diberi nama masing-masing desa adat dan desa dinas atau desa administratif. Istilah ini secara tertulis pertama kali ditemukan dalam buku I Gusti Putu Raka, tahun 1955 (Pitana,1994:139).
Batasan tentang Desa adat secara resmi (formal) telah di tuangkan dalam pasal 1 (e). Peraturan Daerah Bali No. 06 Tahun 1986 yang manyatakan bahwa desa adat adalah :
"Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri".

Demikian antara beberapa istilah atau pengertian yang perlu kita pahami bersama mengingat telah terjadi jalinan yang demikian padat antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu sebagai jiwa dari kebudayaan daerah ini. Jalinan yang demikian baik hendaknya tetap terpelihara jangan sampai dirobek atau diputuskan oleh umat sendiri karena tidak memahami apa yang kita miliki.
Desa adat di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses pembangunan. Sebagai organisasi pemerintahan, desa adat merupakan desa otonom asli, mengendalikan roda pemerintahan sendiri di dalam palemahan (wilayah)nya yang tetap hidup dan kedudukannya diakui di dalam Negara Republik Indonesia, sebagai perwujudan budaya bangsa yang perlu diayomi dan dilestarikan.
Desa adat sebagai masyarakat yang mempunyai tata susunan asli beserta banjar-banjar adat, eksistensinya diakui secara hukum berdasarkan UUD 1945 (pasal 18), dan UU Pemerintahan Desa (UU No.5 Tahun l979) yang telah dicabut dan digantikan dengan UU No.22 Tahun 1999 begitu pula dengan Permendagri No.3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian dan pengembangan adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah. Pengakuan terhadap desa adat berarti pula pengakuan terhadap lembaga-lembaga adat yang ditetapkan. Keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut secara sosiologis masih dipelihara oleh masyarakat desa (krama) adat.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, eksisitensi desa adat di Bali, Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali berusaha memelihara keajegan Desa adat Bali dengan menetapkan Peraturan daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali, tanggal 25 Juni 1986. Sebelumnya, Gubernur Kepala Daerah Propinsi Tingkat I Bali mengeluarkan sebuah Keputusan Nomor: 18/Kesra II /C/119/1979, tanggal 21 Maret 1979 tentang Majelis Pembina Lembaga Adat, sebagai sebuah badan yang statusnya semi pemerintah yang mempunyai tugas, fungsi dan wewenang antara lain sebagai badan pertimbangan, saran, usul mengenai permasalahan adat kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah dan dalam penyelesaian konflik adat yang timbul maupun kepada lembaga adat di dalam seluruh aspeknya.


2. Peranan dan Fungsi Desa adat
Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupannya yang bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok dan individu sebagai warga masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat berusaha menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada asas kepatutan melalui lembaga sangkepan. Penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan masyarakat ke dalam suasana kehidupan yang rukun dan damai (harmonis).
Suasana kehidupan harmonis, pada masyarakat tradisional yang tersebut, kini tampaknya telah berubah karena pengaruh modernisasi, industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah masyarakat mengalami proses globalisasi. Kehidupan non agraris dan globalisasi tersebut telah mengubah masyarakat homogen menjadi masyarakat majemuk (plural) yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan yang hetrogen.
Di Bali, proses globalisasi telah dirasakan jauh sebelum masyarakat Indonesia lainnya mengalami hal tersebut. salah satu penyebab terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah ini adalah karena perkembangan pariwisata yang telah berlangsung sejak lama.
Suasana demikian, mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok dan hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan dunia modern.
Kelompok-kelompok sosial baru tersebut umumnya menganut nilai dan norma serta kebiasaan yang berbeda dengan nilai, norma, serta kebiasaan masyarakat tradisional. Kelompok-kelompok tsb. juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana demikian, masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruha. Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya pengikat dalam masyarakat digantikan oleh ikatan solidaritas organis yang lebih menonjolkan ikatan dalam kelompok dan kepentingan kelompok masing-masing lebih diutamakan dibandingkan masyarakat secara keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat dalam pergaulan antar sesamapun tampak mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke nilai individual dan komersial. Situasi demikian memberi peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik.
Banyak hal yang muncul sebagai sumber konflik dewasa ini antara lain: tanah, status sosial (prestise), jabatan dan peluang kerja. Di Bali, sumber konflik yang paling menonjol dewasa ini adalah, tanah, baik tanah milik perorangan, milik kolektif, milik pura/milik Desa adat dan tak terkecuali tanah untuk penguburan.
Sebelum keadaan masyarakat seperti sekarang ini, konflik yang terjadi umumnya dapat diselesaikan secara damai oleh lembaga penyelesaian konflik, baik ditingkat keluarga/kerabat maupun di tingkat masyarakat. Konflik-konflik yang timbul dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat (konsensus) ataupun perundingan (negosiasi). Cara penyelesaian demikian benar-benar dapat mengakhiri suasana konflik antara kedua belah pihak yang berselisih, sehingga mereka dapat rukun kembali. Berbeda keadaannya dengan situasi sekarang, konflik yang terjadi di masyarakat sering kali tidak dapat diselesaiakan berdasarkan prosedur dan kebiasaan yang berlaku. Kalaupun ada upaya penyelesaian terhadap konflik yang terjadi namun sering kali penyelesaiannya dirasakan tidak memuaskan para pihak sehingga konflik tetap berlangsung berlarut-larut. Ini berarti cara-cara penyelesaian konflik adat mengalami tantangan.
Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali, termasuk masyarakat pedesa an ke dalam pergaulan luas pada pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah menimbulkan banyak tantangan bagi masyarakat adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi tersebut antara lain telah terjadinya perubahan nilai orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan bertindak, keefektifan awig-awig sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik di masyarakat yang dahulu umumnya ditaati kini tidak jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan. Penggunaan tanah dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan tanah yang dahulu jarang menimbulkan konflik, sekarang tanah menjadi sumber konflik di masyarakat.
Sebelum pergaulan luas seperti dewasa ini, pergaulan sesama warga berlangsung dalam hubungan yang akrab dan personal atas dasar nilai kebersamaan, hal tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Warga masyarakat mempunyai orientasi nilai dan kepentingan yang sama. Kebersamaan mereka diungkapkan dengan menggunakan istilah "kita" yang menunjukkan adanya kesatuan dan tidak ada lagi yang lainnya di dalam masyarakat itu.
Kebersamaan dan kesatuan di dalam masyarakat tercermin pula dalam ketaatan warga masyarakat terhadap awig-awig (praturan) yang mereka tetapkan bersama dan dalam hal bila terjadi penyimpangan/pelanggaran terhadapnya, umumnya awig-awig sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan efektif. Selain itu, segala keputusan yang diambil masyarakat dalam hal terjadinya konflik umumnya ditaati demi kebersamaan dan kesatuan dalam masyarakat. Peruntukkan tanah dan perolehan hak atas tanah di masyarakat diatur juga menurut adat setempat berdasarkan otonomi asli yang dimiliki oleh masyarakat Desa adat. Oleh karena peruntukkan tanah umumnya homogen untuk tanah pertanian dan hanya bagi anggota masyarakat setempat umumnya jarang menimbulkan konflik dan kalaupun ada konflik umumnya dapat ditangani melalui lembaga penyelesaian konflik.
Setelah masyarakat bergaul secara luas, warga masyarakat tidak saja bergaul dengan sesama warga masyarakat setempat, tetapi juga dengan masyarakat kota, luar daerah dan bahkan juga dengan masyarakat internasional, terutama dalam kaitannya dengan pariwisata. Dalam pergaulan demikian, hubungan yang sangat akrab mulai melonggar, sifat personal berubah ke impersonal, nilai kebersamaman yang sebelumnya melandasi pergaulan antar wargapun melemah dan berubah ke arah individual, nilai tolong-menolong dan gotong-royong yang sebelumnya mewarnai segala macam aktivitas dalam masyarakat kini telah bergeser ke arah komersial dengaan perhitungan untung rugi. Dalam bersikap dan bertindak, warga mamsyarakat mengikuti norma dan orientasi nilai yang berbeda-beda. Selain itu warga masyarakat juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda terhadap peruntukan tanah.
Konflik berkepanjangan yang sering tidak dapat diselesaikan di masyarakat, merupakan suatu indikator bahwa lembaga adat, khususnya lembaga penyelesaian konflik adat yang keberadaannya masih diakui ternyata eksistensinya tidak diikuti oleh keberadaannya.
Desa adat menampakkan dirinya sebagai suatu organisasi kemasyarakatn dan sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang berdiri sendiri di wilayah Kecamatan. Desa adat adalah desa yang otonom sehingga mempunyai kewenangan untuk mengurus dan menyelenggarakan kehidupan rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial religious dan sosial kemasyarakatan. Desa adat memiliki struktur kepengurusan yang pada umumnya disebut Prajuru dan dibeberapa desa di pegunungan umumnya disebut Dulu atau paduluan dan berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya secara maksimal, terutama sekali menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia (terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa aman dan nyaman).
Tentang Prajuru atau Dulu/Paduluan ini umumnya dipilih secara demokratis (musyawarah mufakat) oleh masing-masing Krama, namun di beberapa desa adat yang lebih tua, pengurus tersebut ditugaskan secara bergiliran dari yang lebih tua, digantikan nantinya oleh yang lebih muda, dilihat dari ketika mereka ikut sebagai Sekehe Taruna atau Matruna (Truna Nyoman).
Unsur-unsur Prajuru Desa adatpun bervariasi, dengan pemimpin tertinggi umumnya disebut Bendesa atau Kelihan Desa , sedang wakil, sekretaris dan pembantu disebut dengan berbagai nama, seperti Patajuh (wakil), Panyarikan (sekretaris), Kasinoman (pembantu/juru arah) dan Sedahan untuk bendahara.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi Desa adat dilengkapi dengan kekuasaan mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat dipertemukan dalam suasana yang menjamin rasa aman bagi setiap warganya. Mengenai kekuasaan Desa adat dapat dibedakan menjadi 3 macam kekuasaan, yaitu:
a. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan yang mengikat seluruh warganya, guna menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dan disepakati dalam rapat desa (paruman/sangkepan), seperti upaya menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat. Mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama warga, dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai perwujudan ajaran Trihita Karana.
b. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat keagamaan, sosial budaya, ekonomi dan hankam, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu, mengembangkan kebudayaa, memelihara dan melestarikan adat-istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, mengembangkan ekonomi kerakyatan, memelihara kelestraian Kahyangan Tiga, mewujudkan pertahanan dan keamanan bersama dalam menghadapi kondisi tertentu.
c. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa, kasus atau konflik, karena berbagai hal seperti kepentingan yang bertentangan, tidakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, perbuatan yang menggangu ketertiban warga, dll., yang umumnya ditempuh melalui perdamaian maupun sanski adat (I Made Widnyana, 1999: 4).

Sesuai dengan hakekat pengertian otonomi desa sebagai kekuasaan untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, maka jelaslah bagi kita bahwa pelaksanaan kekuasaan seperti tersebut berlaku di wilayah desa yang bersangkutan. Selain mengikuti asas personalitet, khususnya terhadap warga desa (pangrep), yang karena suatu hal berada di luar desa nya, namun masih tetap menjalin ikatan dengan desa asalnya.
Berkenaan dengan setiap warga desa adat wajib menjunjung kekuasaan yang telah disepakati dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtra dan tentram seperti yang dicita-citakan, maka bentuk konkrit otonomi Desa adat dapat dilihat pada:
a. Bendesa (Kelihan) Desa adat. Dalam sturuktur pengurus Desa adat, Bendesa atau Kelihan Desa memiliki posisi sentral dan utama, sebagai orang yang dituakan oleh masyarakat (primus interpares). Dengan demikian Bendesa (Kelihan) Desa adat memiliki kharisma atau wibawa di lingkungan desa nya.
b. Paruman (Sangkepan) Desa adat. Paruman atau Sangkepan Desa adat adalah bentuk musyawarah yang sangat demokratis (demokrasi asli), karena setiap Krama (warga) Desa adat memiliki hak suara yang sama. Paruman umumnya membahas hal-hal yang dianggap perlu dan biasa diselenggarakan secara rutin (nityakala) atau juga insidental (padgatakala).
c. Awig-awig Desa adat. Awig-awig adalah aturan-aturan yang dibuat oleh Krama Desa melalui Paruman Desa adat dan umumnya banyak yang tidak disuratkan. Namun karena perkembangan, dewasa ini telah berhasil disuratkan awig-awig tersebut sebagai pedoman bagi pengurus Desa adat dalam melaksanakan kewajibannya maupun bagi warga, dan di dalam awig-awig tersebut kita jumpai sanksi-sanksi bagi warga desa yang melanggarnya. Di dalam awig-awig desa ini dapat dilihat perbuatan atau tindakan yang dilarang serta sanksi-sanksinya baik sanksi itu dijatuhkan kepada warga atau keluarganya atau dibebankan kepada masyarakat desa sendiri (I Made Widnyana, 199: 5).

Demikian, dalam operasionalnya, Desa adat senantiasa mandiri sebagai wujud dari otonomi, karena tidak ada intervensi darimanapun yang dapat dibenarkan dalam rangka mewujudkan kesejahtraan warganya.
Desa adat dengan Banjar-Banjarnya adalah lembaga masyarakat umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara agama yang berlangsung di Desa adat seperti upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-lain, Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan Krama Desa . (Kepala Bidang Bimas Hindu, Kanwil Depag Prop Bali , 1978:5)
Demikian pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah Desa adat tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Diwujudkan dengan mendirikan pura Kahyangan Tiga atau Kahyangan-Kahyangan Desa . Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui aturan yang berlaku sebagai anggota Desa adat atau Krama Desa dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa adat yakni dengan pemeliharaan bersama desa , fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa adat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa adat.
Terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan di Desa adat kemudian di Bali kita mengenal adigium yang merupakan azas dari kebersamaan, yakni : Salulung Sabyayantaka ( sa + luhung + luhung sa + byaya (sa) + antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah Bali di sebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan sepenanggungan. Atas dasar azas kebersamaan ini hendaknya setiap anggota Desa adat merupakan bagian dari keluarga besar Desa adat termasuk masalah kesejahteraan warganya. Bila hal ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak terjadi warga umat Hindu sampai dipelihara di panti-panti asuhan yang tidak bernafaskan Hindu.
Memperhatikan landasan dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Hindu, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sejati, maka fungsi Desa adat yang paling menonjol bagi warga atau Krama-nya, adalah untuk bersama-sama meringankan beban kehidupan baik suka dan duka (dalam Pasuka-dukan Desa ). Dengan demikian fungsi atau peranan Prajuru Desa adat dalam pelaksanaan agama Hindu secara lebih detail dapat juga dirinci sebagai berikut :
a. Mengatur hubungan Krama Desa dengan Kahyangan.
b. Mengatur pelaksanaan Pañca Yajña dalam masyarakat.
c. Mengatur penguasaan Setra.
d. Mengatur hubungan antar sesama Krama Desa .
e. Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainya milik Desa adat
f. Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum Adat (awig-awig).
g. Menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian masyarakat.
h. Memberikan perlindungan hukum bagi Krama Desa
i. Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesama Krama Desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan.
j. Menjunjung dan mensukseskan program pemerintah dalam memajukan desa , pendidikan dan perekonomian (MPLA Dati I Bali, 1989/1990 : 24 - 25 )

Bila Desa adat mampu melaksanakan fungsi dan peranannya, maka tujuan Desa adat untuk mewujudkan desa yang Sukertagama (masyarakat tentram karena melaksanakan ajaran agama), Tata Tentram Kertaraharja (tentram dan sejahtra) akan dapat diwujudkan untuk itu para Prajuru Desa hendaknya senantiasa mencari upaya dengan mengkaji potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa adat termasuk sumberdaya manusia (SMD)nya untuk dapat di kembangkan sebaik-baikmya. Sabha-Sabha Desa (Musywarah Desa ) atau Sangkepan (sidang-sidang) dan Paruman Desa (rapat desa ) hendaknya diadakan secara rutin dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam mengurus Desa adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu.

III. PERANAN DESA ADAT DALAM PARIWISATA
BUDAYA

1. Pariwisata Budaya dan permasalahannya

Masyarakat dan Pemerintah Daerah Bali telah menetapkan bahwa pariwisata yang dikembangkan di daerah Bali adalah Pariwisata Budaya, yang secara tegas diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Bali, No.3 tahun 1991, tanggal 1 Februari 1991 yang disahkan oleh Kepmendagri No. 556.61.-573, tanggal 24 Juni 1991, yang secara tegas (dalam Ketentuan Umum, Bab I, Pasal 1, butir j) merumuskan pengertian Pariwisata Budaya, sebagai berikut:
"Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras dan seimbang".

Lebih jauh tentang azas dan tujuan Pariwisata Budaya, diatur dalam Bab II ,

pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

"Penyelenggaraan pariwisata budaya dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, percaya pada diri sendiri dan perikehidupan keseimbangan, keserasian serta keselarasan, yang berpedoman kepada falsafah Tri Hita Karana"

"Penyelenggaraan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pasal 2 (di atas) bertujuan untuk:
a. memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata;
b. memupuk rasa cita tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa;
c. memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja;
d. meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
e. mendorong pendayagunaan produksi daerah dalam rangka peningkatan produksi daerah dalam rangka peningkatan produksi nasional;
f. mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan, agama dan keindahan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup;
g. mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan".

Memperhatikan pengertian, azas dan tujuan Pariwisata Budaya seperti di atas, kiranya telah cukup bagi kita untuk memahami pengertian pariwisata budaya yang telah dan kini terus menerus dikembangkan. Pembangunan dan pengembangan kepariwisataan di Propinsi Bali telah menunjukkan keberhasilan dalam menunjang berbagai bidang kehidupan sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan lima tahunan daerah. Kita telah merasakan berbagai program pembangunan yang dilaksanakan telah menunjukkan keberhasilan baik di tingkat nasional maupun regional. Pertumbuhan ekonomi Bali cukup tinggi (melebihi pertumbuhan rata-rata nasonal) bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dalam situasi krisis ekonomi dan moneter saat ini. Partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional diselenggarakan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hubungan ini pemerintah berkewajiban untuk memberi pengarahan dan bimbingan, serta menciptakan iklim yang mendorong peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan.
Tampaknya partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Bali tidak perlu diragukan lagi untuk menunjang keberhasilan pembangunan. Walaupun demikian diperlukan untuk melihat rahasia keberhasilannya dalam rangka pengembangannya pada PJP II yang memiliki ciri pembangunan tersendiri, yaitu ciri pembangunan yang penuh dengan kemandirian (Suyatna,1993). Dengan mengutip hasil penelitian Sutjipto et.al (1990), menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Bali dalam program-program pembangunan termasuk kategori partisipasi tinggi. Yang dimaksud dengan partisipasi dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian, keterlibatan dalam menyumbangkan masukan, baik tenaga, uang maupun material, hingga keterlibatan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.
Munculnya kasus-kasus tanah dan juga kasus-kasus lainnya adalah ketika terjadinya persinggungan antara kepentingan kepariwisataan dengan sarana keagamaan khususnya tempat pemujaan (tempat-tempat suci), baik di tepi pantai, tepi mata air, di pegunungan dan sebagainya. Titik persinggungan itu, dapat terjadi karena tata ruang untuk kepentingan keagamaan dimanfaatkan untuk kepentingan kepariwisataan. Demikianlah munculnya kasus BNR dan yang terakhir kasus Padanggalak menunjukkan hal tersebut.
Berbagai kasus muncul (dalam kaitannya dengan kepariwisataan), seperti dinyatakan oleh beberapa pakar, adalah karena kurangnya koordinasi dan komunikasi atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah sosialisasi program (proyek) sejak perencanaan sampai pada pelaksanaan. Di samping itu, Ibu Gedong Bagoes Oka pernah menyatakan, bahwa pengawasan dari masyarakat sangat lemah, sering masyarakat mudah terbujuk oleh investor yang membeli tanah-tanah mereka dengan harga yang mahal. Kasus-kasus tanah juga merebak dalam kaitannya dengan alih fungsi atau dijualnya tanah-tanah labapura dan ayahan desa , yang bila tidak dicermati akan menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan.
Berdasarkan penelitian terhadap berbagai ketentuan hukum Hindu seperti yang tercantum dalam Bhàgavata Puràóa, Úaòkha Likhita Sùtra dan Paiþhinasi, dapat dinyatakan bahwa labapura mempunyai kedudukan yang strategis dan penting untuk kelangsungan sebuah pura dan kita memahami bahwa pura merupakan pusat spiritual dan kehidupan umat Hindu. Tentang admistrasi dan kelangsungan berdirinya sebuah pura, Paithìnasi seperti dikutip oleh Aparàrka mengamanatkan bahwa pemerintah (raja) tidak boleh menghapuskan keberadaan sebuah pura, demikian pula badan hukum (saýgha, di Bali disebut Pamaksan) beserta kekayaan mereka (Pandurang Vaman Kane, Vol.II, Part II, 1990: 913). Dijelaskan juga bahwa pemerintah menurut Kauþilya Arthaúàstra III.9, menunjuk pengawas kekayaan pura yang disebut "devatàdhyakûa" untuk mengawasi pengelolaan kekayaan pura (Ibid, 1990: 912).
Berdasarkan penjelasan ini, maka pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan sebuah pura termasuk pula laba puranya atau segala aset yang dimilikinya.
Permasalahan lainnya adalah penyalah gunaan simbol-simbol Hinduisme (agama Hindu), seperti bangunan yang mirip tempat pemujaan, canang sari (tidak ditempatkan semestinya), canang sari masasari bola golf, penempatan "barong" pada bangunan planet Bali, dan lain-lain, bila tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan ketersinggungan umat Hindu di daerah ini yang dampaknya tentu akan merusak citra Pariwisata Budaya yang tengah dan terus dikembangkan.Demikian pula masalah kependudukan yang cukup memberikan beban yang berat karena kepadatan penduduk, bila tidak dikaji dengan baik akan mengancam eksistensi kebijaksanaa pariwisata yang berkelanjutan.
2. Peranan Desa adat dalam mengembangan Pariwisata Budaya
Bila kita memperhatikan dengan seksama pengembangan Pariwisata Budaya, atau singkatnya pembangunan kepariwisataan, maka disini kami kutipkan pendapat Tri Budhi Satrio yang menyatakan:
"Pembangunan kepariwisataan yang bermodal dasar kebudayaan daerah yang dijiwai oleh agama Hindu diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata agar menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga mampu meningkatkan lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara serta meningkatkan penerimaan devisa melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan yang ada di daerah.Bersamaan dengan itu, dalam pembangunan kepariwisataan yang dilakukan haruslah dijaga tetap terpeliharanya budaya dan kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu baik antar daerah, antar sektor mauiun antar usaha kepariwisataan, baik yang berskala kecil, menengah, maupun besar sehingga dapat terwujudnya pemerataan dan keseimbangan pengembangannya.
Karena Bali bukanlah bagian bagian terpisahkan dari negara kesatuan Republik Indonesia, maka pengembangan pariwisata Nusantara juga perlu mendapatkan prioritas. Pengembangan pariwisata Nusantara dilaksasnakan sejalan dengan upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperkukuh persatuandan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakkan pariwisata remaja dan pemuda dengan lebih meningkatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kepariwisataan. Sedangkan daya tarik Bali, sebagai komponen tidak terpisahkan dalam Konsep Pengembangan Pariwisata Budaya Bali, perlu ditingkatkan melalui pengembangan pariwisata budaya yang dijiwai agama Hindu serta upaya pemeliharaan kebudayaan daerah yang mencerminkan ketinggian budaya dan kebesaran bangsa, serta didukung dengan promosi yang memadai" (199: 72).
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka Desa adat Bali mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan pariwisata budaya. semua orang memaklumi bahwa daya tarik Bali terhadap wisatawan, tidaklah semata karena keindahan alamnya, lebih dari pada itu adalah budayanya yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan memantapkan peranan, fungsi,dan wewenang Desa adat, maka sesungguhnya semua aspek budaya yang didukung oleh masyarakat Bali akan menjadi daya tarik kepariwisataan yang bila dipelihara dan dikembangkan dengan baik akan menjamin kalangsungan kehidupan pariwisata (sustainable tourism) di daerah ini. Dalam Desa adat berkembang seni budaya, kehidupan masyarakat yang sejahtra, pengamalan ajaran agama dalam prilaku dan aktivitas ritual agama yang senantiasa akan menarik wisatawan sepanjang masa. Di samping itu Desa adat berperanan pula dalam pengembangan kawasan wisata, mengawasi penyalah gunaan simbol-simbol keagamaan dan juga berperanan dalam mencegah pendatang liar yang masuk ke Bali, utamanya di wilayah palemahan Desa adat di Bali.
Lebih lanjut, tentang peranan Desa adat dalam pengembangan pariwisata budaya, kami kutipkan pendapat Dr. Pitana, sebagai berikut:
"In reducing actual and potential pressure associated with the rapid development of tourism in Bali, Bali must help distribute tourists to other islands. this is important, firstly, to reduce burden of Bali associatedwith tourism development, and secondly, to help other islands grow, and become growth center outside Bali. By the development of growth center outside Bali, migration to Bali, and its associated impacts can be reduced.
All players in tourism sector should remeber by heart, that it is the Balinese and their culture, who contribute significantly to the success of tourism development. Hence, there is a duty for all to respect them and help them maintain they dignity in whatever forms. This is key for the sustainable tourism development. To ease the channeling of tourism support for culture, there is a need to establish a solid bridging institution"
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Desa adat di Bali sesungguhnya sangat berperanan dalam pengembangan pariwisata budaya. Peran tersebut akan maksimal dapat dilaksanakan bila fungsi, peranan dan wewenang Desa adat berjalan dengan baik.

IV. SIMPULAN
1. Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras dan seimbang.

2. Desa adat sangat berperanan dalam pengembangan pariwisata budaya di daerah ini bilamana fungsi, peranan dan wewenang Desa adat dapat berjalan dengan baik. Pada Desa -Desa adat yang berkembang seni budaya dan kehidupan masyarakatnya sejahtra, fungsi, peranan dan wewenang Desa adat berjalan mantap.

3. Desa adat Bali mampu menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi ini bila potensi dan pemberdayaan Desa adat dapat sepanjang pelestarian kebudayaan Bali dan lingkungannya tetap dijaga keajegannya.

Daftar Pustaka

1. Bagus, I Gusti Ngurah1999 : Awas "Drakula Budaya", Harian Bali Post 23 Juni 1999
2. Goris, R. 1954 : Inscripties Voor Anak Wungsu, I, Univer-sitas Indonesia, Massa Baru, Bandung
3. Kepala Bidang Bimas Hindu Kanwil Dep. Agama Prop. Bali 1977/1978 : Desa adat Bali Menghapi Kepariwisataan,Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku/Brosur di Baali, Denpasar
4. Majelis Pembina Lembaga Adat Dati I Bali1989/1990 : Mengenal dan Pembinaan Desa adat di Bali, Proyek pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 Kab. di Bali, Denpasar
5. I Gusti Ngurah Oka 1999 : Dasar Historis dan Folosofis serta tantangan ke depan, Keberadaan Desa adat di Bali, M.P.L.A. Prop.Bali, Denpasar
6. Pandurang Vaman Kane, 1990 : History of Dharmasastra, Vol .II,Part II, BarodaUniversity Press, India
7. Pitana, I Gede 199419941999 :: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Penerbit Bali Post, DenpasarBalancing the opposing worlds, Reinventing Cultural Tourism as A strategy for sustainable Tourism Development in Bali, International Seminar on "Sustainable Tourism: balinese Perspective, Denpasar, 3 Agustus 1999
8. Purwita, Ida Bagus Putu1984 : Desa adat dan Banjar Adat Bali, Percetakan Kawi Sastra, Denpasar
9. Rangarajan, L.N 1987 : Kautilya, The Arthashastra, Pinguin Books,Calcuta, India
10.Tri Budhi Satrio 1999 : Pariwisata Budaya, Sebuah Konsep Omong Kosong, International Seminar on "Sustainable Tourism: balinese Perspective, Denpasar, 3 Agustus 1999
11. Widnyana, I Made 1999 : Pemberdayaan Lembaga Adat Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Materi MatrikulasiPra-Pasca, Program Pasca Sarjana kajian Budaya,Universitas Udayana, Denpasar, 20 juli 1999 :(Vol.II, Part II, 1990: 913). Dijelaskan juga bahwa pemerintah menurut Kauþilya Arthaúàstra III.9, menunjuk pengawas kekayaan pura yang disebut "devatàdhyakûa" untuk mengawasi pengelolaan kekayaan pura (Ibid, 1990: 912).