Sabtu, 19 Juni 2010

Kekayaan tidak Berharga, . . . .

" Adhigata paramarthan panditanmavamamasthas trnamiva laghulaksmirnaiva tan samrunaddhi abhinava madalekkhasyamagandasthalanam na bhavati bisatanturvaranam varnanam "
( Wahai para penguasa, janganlah menghina para cendiakiawan yang telah mencapai kesadaran spiritual yang tinggi. Kekayaan bagi mereka bagaikan pucuk dahan yang tidak berharga, bagaikan batang lotus yang tidak dapat mengikat seekor gajah "
Para penguasa atau pemimpin hendaknya jangan menghina para cendiakiawan yang telah mencapai tingkat spitual yang tinggi. Mereka tidak bisa dibeli dengan kekayaan karena kekayaan bagi mereka bagaikan ranting ohon yang telah patah dan tidak ada harganya. Bagaikan batang lotus yang tidak bisa mengikat gajah yang mengamuk demikian pula para cendiakiawan tidak bisa diikat dengan kekayaan.
" Wong andhap asor iku, yekti oleh penganggep becik, wong meneng iku nyata, neng njaban pakewuh "
Orang yang rendah hati, pasti akan dianggap baik. Sedang orang yang diam itu selamat dari bencana lidah,..........

Mendidik Anak SUPUTRA dalam Keluarga

Ibu merupakan seseorang yang disayangi dan dihormati. Ia adalah ratu rumah tangga, guru yang pertama bagi anak-anaknya, seseorang yang dengan kasih sayang menyampaikan kebudayaan negeri itu kepada keturunannya pada saat mereka masih kecil dan mudah dibentuk. Ibu dan ayah adalah contoh pertama prilaku sosial yang dilihat dan ditiru anak. Merekalah yang mengajarkan kasih, bhakti kepada Tuhan, serta pasrah diri kepada Yang Maha Kuasa.Mereka menampilkan keseimbangan bathin serta kasih. Anak-anak memperhatikan mereka dan dengan mudahnya menerima serta mengikuti contoh mereka. Karena itu, minat orang tua harus dibangkitkan agar mereka ikut berperan dalam membangun rohani. Toleransi dan kerendahan hati harus dipupuk dalam generasi muda yang sedang berkembang dengan membina disiplin kerohanian diantara para ibu. Kaum Ibu bagaikan ibu bumi yang menumbuhkan benih dan memeliharanya menjadi tanaman muda serta pohon yang kuat tegap. Tanah yang asin menghambat pertumbuhan dan merusak tanaman. Setiap orang mempunyai ibu yang merupakan asal badan dan kehidupannya. Karena itu ibu harus memiliki fisik dan mental yang kuat, matang wataknya, berbudaya, disucikan oleh pikiran-pikiran luhur, dan dijiwai oleh kasih dan pengabdian. Ibu yang baik membentuk bunga bangsa yang baik. Kaum ibu harus menjadi teladan dalam ketidak-terikatan, disiplin, serta bhakti. Kegiatan mereka harus dilandaskan pada ketiga keutamaan ini. Kaum ibu harus mengetahui rahasia ketentraman ini. Kau ibu harus mengetahui rahasia ketentraman hati, keheningan bathin, keberanian spiritual, dan kepuasan bathin yang merupakan harta terbesar. Ia harus seperti ibu dalam cerita yang dikisahkan oleh Vivekananda, ibu menasehati anaknya agar berseru memanggil Tuhan bila dalam perjalanan ke sekolah ia harus melewati hutan sendirian dan tanpa daya.
Kaum ibu memainkan peran yang penting dalam menumbuhkan kembali moral masyarakat. Mereka dapat menceritakan pada anak-anak berbagai kisah epik tentang pengorbanan dan kepahlawanan, mengenai orang-orang suci yang mencari Tuhan dan melihat-NYA dimana-mana dalam kebenaran, keindahan serta kebajikan., mengenai pria dan wanita agung yang mendalami rahasia alam semesta dan hukum segala hukum yang mengatur alam mikro dan makro secara seimbang. Anak-anak memiliki rasa takjub, segar dan bebas, ,mereka mempunyai rasa ingin tahu yang lugu dan tulus, mereka menghormati pengetahuan dan kekuasaan. Ceritakanlah pada mereka anak-anak mengenai semua orang suci dan pengejawantahan Tuhan yang dapat mereka bayangkan dengan rasa kagum.
Jangan mengajarkan atau menanamkan gagasan yang muluk-muluk atau terlalu besar pada anak-anak. Ajarlah mereka gagasan kecil yang praktis dan prilaku yang sederhana dengan tealdanmu sendiri dan dengan penjelasan yang penuh kasih. Sifat yang mementingkan diri sendiri, iri hati, dan kesombongan yang egois merupakan tiga kecendrungan serta sikap yang tidak boleh dibiarkan berakar dalam hati anak-anak yang lembut. ( kutipan wejangan Bhagavan Sri Sathya Sai Baba )

GAYATRI MANTRAM FUNGSI DAN BERKAHNYA BAGI YANG MENGUCAPKAN

OM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDDHAMRata Penuh
Sudah banyak diantara umat Hindu yang mengenal dan hafal mantra Gayatri, namun
belum semua diantara yang hafal dan mengenal mantra Gayatri mengetahui apa saja
kegunaan dari mantra yang sangat universal ini dan dianggap sebagai ibunya mantra.
Untuk itu saya mencoba menyampaikan sedikit pengalaman mempergunakan mantra
Gayatri dalam kehidupan sehari-hari dan dampak sampingan bagi kita untuk
meningkatkan tingkat spiritual masing-masing.
Sebelumnya, perlu diketahui yang lebih penting dari pada itu adalah pemahaman tentang
keberadaan diri kita sendiri yaitu bahwa kita lahir ke dunia bukanlah seorang diri. Secara
kodrat sudah ditentukan bahwa manusia itu lahir ke dunia bersama dengan delapan
saudara kembarnya sehingga menjadi sembilan dengan dirinya. Empat berada di luar diri
manusia dan lima berada di dalam diri manusia yang dikenal dengan sebutan “sedulur
papat kelima pancer”. Sedulur papat kelima pancer ini adalah merupakan kunci utama
dari berhasil atau tidaknya seseorang mengarungi kehidupan di dunia ini dan di dunia
kelanggengan. Ketika kita mau makan, berangkat kerja, sembahyang dan sebagainya kita
harus mengajak mereka bersama-sama, agar kita dijaga dari hal-hal yang tidak kita
inginkan.
1. BUNYI MANTRA GAYATRI
OM BHUR BUWAH SWAH
(Ya Tuhan, Engkau penguasa alam nyata, alam gaib, alam maha gaib)
TAT SAWITUR WARENYAM
(Engkaulah satu-satunya yang patut hamba sembah)
BHARGO DEWASYA DHIMAHI
(Engkaulah tujuan hamba dalam semadhi)
DHIYO YO NAH PRACODAYAT
(Terangilah jiwa hamba agar hamba berada dijalan yang lurus menuju Engkau)
2. MANTRA GAYATRI UNTUK MENGAGUNGKAN DAN MENYEMBAH
TUHAN
Dengan mengucapkan mantra Gayatri secara berulang-ulang minimal 108 kali sesering
mungkin untuk mengagungkan, menyembah Dia, maka kita akan memperolah
ketenangan jiwa dan pikiran, caranya :
Ucapkan pertama Om Awignham Astu Namo Siddham sebelum kita memulai suatu
pekerjaan. Selanjutnya ajak saudara kita untuk sembahyang : Sedulurku papat kelima
pancer, kakang kawah adi ari-ari kang lahir tunggal dine, tunggal dalam kadangku,
tuwo lan sinom podo, mari kita sama-sama menyembah kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Waca. Ucapkan OM TAT SAT EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN,
selanjutnya japa gayatri dengan khusuk.
3. MANTRA GAYATRI UNTUK MEMBUKA TUJUH CAKRA UTAMA YANG ADA
DALAM DIRI MANUSIA, DIBANTU PRANAYAMA DAN DAGDI KARANA
Dengan melakukan pranayama adi pada waktu pagi atau malam hari dengan cara :
Duduk bersila, pakaian agak longgar, alas duduk yang empuk lakukan:
a. Tarik nafas yang dalam dengan cepat langsung ditaruh diperut bagian bawah/puser,
tahan sebentar sambil baca mantra dalam hati OM Ang Atmaya Brahma murtyayai
namah.
b. Nafas dinaikkan ke dada ditahan sebentar sambil baca mantradalam hati: OM Ung
Antaratmaya Wisnu Murtyayai namah
c. Nafas dinaikkan ke kepala dan ditahan semampunya dan jangan memaksakan,
sambil ucapkan mantra dalam hati: OM Mang Paramaatmaya Iswara murtyayai
namah
d. Nafas dibuang perlahan dengan mengucapkan mantra dalam hati: Om Ung Rah Pat
astraya namah sarwa winasaya swaha.
e. Lakukan dengan sabar dan ulangi beberapa kali semampunya. Kalau capek bisa
istirahat sebentar.
f. Setelah melakukan pranayama adi, lakukan dagdi karana yaitu posisi tetap duduk
bersila lalu ucapkan mantra :
OM Sariram kundam ityuktan
(Ya Tuhan, semoga engkau jadikan tubuh ini bagaikan tungku api)
Triyantah karanam indhanam
(yang sanggup membakar ketiga dunia dalam tubuh ini)
Sapta Ongkara mayo bahnir
(menjadikan tujuh Ongkara/cakra yang ada dalam tubuh hamba menjadi terbuka)
Bojananta udindhitah
(sehingga dapat menyimpan kekuatan prana)
OM Ang astra Kala Agni Rudra ya namah swaha
(Ya Tuhan, atas restumu semoga Api Rudra yang rahasia hadir dalam tubuh hamba)
Bayangkan diri kita seakan-akan berada di tengah-tengah gungungan api.
Setelah beberapa saat, ucapkan Amerta Mantra ;
OM Hram hrim sah Paramaciwa Raditya ya nama swaha
OM Ung Rah Phat astra ya namah.
Bayangkan ada tirta amerta yang mengguyur kepala kita terus mengalir keseluruh
tubuh melalui tulang belakang.
g. Teruskan japa Gayatri Mantram 108 kali.
Lebih banyak akan lebih bagus hasilnya.
4. MANTRA GAYATRI UNTUK MENDOAKAN PARA BHETARE DAN LELUHUR
KITA
Bhetare yang duduk di sebuah pure, dulunya adalah manusia sama seperti kita.
Bedanya, beliau pada waktu hidupnya sudah mempelajari, mengamalkan weda
sehingga mencapai tingkat kesucian tertentu menurut kaca mata Tuhan dan diijinkan
untuk menjadi Bhetare (pelindung). Contohnya : Mpu Gnijaya.
Terhadap beliau kita tidak perlu menyembah, akan tetapi mendoakan beliau, karena
beliau belum mencapai tahapan puncak yaitu Aham Brahman Asmi (artinya masih
bertugas/beryadnya sebagai pelindung). Caranya :
Ya Tuhan yang Maha Sempurna, semoga Engkau menganugrahkan kesempurnaan
yang sejati ya sejatinya sampurna kepada Bhetare yang duduk di pure ini (atau sebut
nama purenya). Hamba hadiahkan Gayatri Mantram 108 kepada beliau. Lakukan
japa.
Bagi yang frekwensinya sudah nyambung, Bhetare akan hadir melalui penglihatan
mata bathin.
Kepada para leluhur, orang tua (almarhum) dapat dilakukan sebagai berikut :
Ya Tuhan Yang Maha Pengampun, semoga engkau mengampuni segala dosa dari
para leluhur hamba, atau almarhum kedua orang tua hamba (sebut namanya),
berikanlah tempat yang layak kepada mereka. Hamba hadiahkan Gayatri Mantram
108 untuk beliau. Leluhur yang kita doakan biasanya akan hadir dalam mimpi.
5. GAYATRI MANTRAM DIUCAPKAN PADA SAAT KITA MAU BERANGKAT
KERJA, MELIWATI TEMPAT-TEMPAT YANG ANGKER DAN
MENAKUTKAN
Ketika kita mau berangkat kerja atau berniat pergi kesuatu tempat, sebelum
melangkah keluar dari pintu rumah ada tata krama yang perlu dilakukan demi
keselamatan kita di jalan, apalagi ketika pada malam hari kita melewati tempat yang
angker. Caranya :
Sebelum keluar dari pintu utama rumah, kita berdiri dibawah pintu, tarik nafas dalam,
jari telunjuk melintang di depan kedua lobang hidung, hembuskan nafas lalu rasakan,
lobang mana yang terasa lebih kencang keluarnya udara. Kalau lobang sebelah kanan
yang terasa lebih kencang, maka kaki yang duluan melangkah adalah kaki kanan.
Kalau lobang sebelah kiri yang terasa lebih kencang, maka kaki yang duluan
melangkah adalah kaki kiri. Kalau kedua-duanya sama, maka kaki yang duluan
melangkah terserah kita.
Sebelum kita melangkahkan kaki, maka sebaiknya kita harus mengajak saudara kita :
Sedulurku papat kelima pancer, kakang kawah adi ari-ari kang lahir tunggal dina,
tunggal dalam kadangku, tuwo lan sinom podo, mari kita sama-sama berangkat ke ….
Jagalah aku dalam perjalanan.
Ucapkan Gayatri Mantram 7 kali. Baru melangkahkan kaki sesuai dengan hasil yang
diperolah tadi.
Apabila kita merasa ketakutan ketika melewati suatu tempat, kita tinggal
mengucapkan Gayatri Mantram saja.
Didalam kita mengucapkan Gayatri Mantram, jumlah bait yang diucapkan tergantung
untuk apa kita bergayatri mantram, Bila kita memohon pertolongan dari Tuhan, kita
ucapkan gayatri mantram sebanyak 7 kali (pitulungan), 77 kali atau 777 kali.
Bila kita memohon kesempurnaan kepada Tuhan, maka kita ucapkan gayatri mantram
sebanyak 9 kali (sempurna), 99 kali atau 999 kali.
Bila kita memohon jalan yang sukses atas suatu kegiatan/upacara, maka kita ucapkan
gayatri mantram sebanyak 11 kali (pintu gerbang), 111 kali atau 1111 kali.
6. GAYATRI MANTRAM UNTUK MENDOAKAN ORANG YANG SEDANG
SAKIT.
Kepada orang yang sedang dicoba oleh Tuhan dengan memberikan penyakit, maka
dengan mantra Gayatri kita bias membantu untuk memohon kesembuhan dari Yang
Maha Menyembuhkan. Caranya :
Ya Tuhan Yang Maha Menyembuhkan, semoga Engkau anugrahkan kesembuhan
kepada ……(sebutkan namanya) lalu panggil saudaranya yang sakit; sedulur papat
kelima pancer si jabang bayi …….(sebut namanya yang sakit), bantulah saudaramu
yang sedng sakit supaya sehat. Barulah berjapa Gayatri sebanyak 77 kali atau 777
kali. Bila perlu, lebih bagus lagi dibantu dengan sarana air putih. Setelah selesai air
putih diminumkan dn dibalurkan kebadan yang sakit. Dalam hal ini, pemohon harus
dalam konsentrai penuh. Bagi yang sudah bisa menerima sinyal/petunjuk dari gaib,
maka gambar yang terlihat oleh mata bhatin; bias orang yang sakit tersenyum sehat,
bias sinar terang, ini artinya orang yang sedang sakit akan dianugrahkan kesembuhan.
Kalau gambar yang diterima dari gaib berupa kuburan atau kobaran api yang
membakar sesuatu, ini petunjuk bahwa memang sakit ini adalah jalannya untuk
meninggal. Namun tanda apapun yang diterima itu hanya untuk sendiri, jangan dulu
disampaikan kepada orang lain, tidak boleh mendahului kehendak Tuhan.
PENUTUP
Gayatri Mantram adalah sebuah mantra yang khadamnya adalah kekuatan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, sangat tergantung dari tingkat kesucian pikiran dan hati dari yang
mengucapkannya. Walaupun sepuluh orang sama-sama mengucapkan mantra Gayatri,
tapi hasil tidak akan sama tergantung kesucian hati dan pikiran masing-masing.
Namun demikian, dengan lebih sering berjapa Gayatri Mantram kita akan sedikit demi
sedikit dapat mencapai kesucian itu. Teruslah berjapa dan jangan pernah bosan. Lambat
tapi pasti, ketenangan jiwa akan mulai terasa. Sabar, sabar, dan sabar, karena sabar itulah
kunci dari kesuksesan kita.
OM SANTI SANTI SANTI OM
.... Gelsana......

11 Lessons In Life

  1. It hurts to love someone and not be loved in return, But what is more painful is to love someone and never find the courage to let that person know how you feel.
  2. A sad thing in life is when you meet someone who means a lot to you, only to find out in the end that it was never meant to be and you just have to let go.
  3. The best kind of friend is the kind you can sit on a porch swing with, never say a word, and then walk away feeling like it was the best conversation you've ever had.
  4. It's true that we don't know what we've got until we lose it, but it's also true that we don't know what we've been missing until it arrives.
  5. It takes only a minute to get a crush on someone, an hour to like someone, and a day to love someone-but it takes a lifetime to forget someone.
  6. Don't go for looks; they can deceive. Don't go for wealth; even that fades away. Go for someone who makes you smile because it takes only a smile to make a dark day seem bright.
  7. Dream what you want to dream; go where you want to go; be what you want to be, because you have only one life and one chance to do all the things you want to do.
  8. Always put yourself in the other's shoes. If you feel that it hurts you, it probably hurts the person too.
  9. A careless word may kindle strife; a cruel word may wreck a life; a timely word may level stress; a loving word may heal and bless.
  10. The happiest of people don't necessarily have the best of everything they just make the most of everything that comes along their way.
  11. Love begins with a smile, grows with a kiss, ends with a tear. When you were born, you were crying and everyone around you was smiling. Live your life so that when you die, you're the one smiling and everyone around you is crying.

ANTROPOLOGI KEYAKINAN

Kegagalan melembagakan demokrasi, atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk menuntun pelembagaan itu, membawa kecemasan politik bagi mereka yang berkehendak mewujudkan suatu masyarakat terbuka.
Ruang politik yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja "politik identitas", yaitu mereka yang berjuang untuk suatu cita-cita politik absolut, terutama karena mendasarkan perjuangan politik pada doktrin keagamaan. Lebih karena keyakinan final tentang "moralitas politik" agama, yang sebagian merupakan lanjutan obsesif dari perdebatan tentang dasar negara pada awal pendirian RI, politik identitas itu memperoleh reperkusi historisnya dari perkembangan sejenis di dunia internasional.
Globalisasi tidak dipandang oleh politik identitas sebagai sarana percaturan ide-ide global, tetapi dimusuhi sebagai penghalang pelaksanaan keyakinan politik agamais. Fundamentalisme pasar berhadapan dengan fundamentalisme nilai, tidak di dalam upaya sintetik untuk mencapai stabilitas relatif sistem dunia modern, tetapi berhadap-hadapan dalam pertarungan kategoris tentang kebenaran absolut. Globalisasi secara kategoris dirumuskan sebagai sumber penghancuran peradaban, sementara agama, dalam versi konservatifnya, diajukan sebagai solusi satu-satunya peradaban baru.
Kendati kontrapolasi itu mengandung banyak kepalsuan, mengingat begitu seringnya kohesifitas keagamaan terbelah karena persaingan politik dalam kelompok itu sendiri, namun nada umum politik global memperdengarkan disharmoni politik antara pendukung etika kosmopolitan dan pembela logika politik akhirat.
Dalam jargon clash of civilization, tersimpan psikologi absolut dari persaingan politik global. Nilai-nilai absolut telah melampaui parameter-parameter konvensional politik dunia. Gejala ini cukup kasatmata: akumulasi kapital dan teknologi bukan lagi nilai utama yang dikejar, tetapi sekadar alat untuk mewujudkan suatu impian ideologi yang absolut. Dalam praktik terorisme mutakhir, prinsip ini bekerja amat sempurna.
Konstruksi historis global inilah yang kemudian menjadi latar perkembangan politik identitas di Indonesia sekarang ini. Namun, sumber-sumber politik identitas itu juga memiliki akar-akar lokal. Memang kondisi otoritarianisme Orde Baru telah menghambat artikulasi kultural dari politik identitas itu, melalui teknik-teknik politik korporatisme, kooptasi, dan represi. Ekonomi Orde Baru telah berfungsi memoderatkan penyebaran sosial dari politik identitas, melalui monetisasi kehidupan umum, dan berbagai insentif kesejahteraan umat. Namun, antropologi bangsa ini rupanya memang kuat bertumpu pada antropologi keyakinan, yaitu kecenderungan untuk memandang kehidupan secara ideologis, secara absolut. Akibatnya, penampilan ulang politik identitas justru menjadi-
jadi ketika politik mengalami keterbukaan maksimal dan ekonomi mengalami penurunan total.
Kontrak sosial demokrasi
Kita tentu tidak ingin kembali pada suasana otoritarian karena jaminan terhadap demokrasi tidak di dalam rangka tukar tambah politik dengan larangan terhadap politik identitas. Yang ingin kita upayakan adalah suatu kerangka kerja demokrasi yang mampu menghargai kondisi antropologis bangsa ini, sekaligus mampu mengembangkan kultur kritisisme individu dalam kebudayaan politik, yaitu kultur yang secara sosial dapat mencegah perwujudan-perwujudan absolut dari tuntutan- tuntutan politik identitas itu. Kultur semacam itu pertama-tama dimaksudkan untuk mendorong pertukaran kepentingan di antara warga negara, berdasarkan prinsip bahwa politik adalah gejala temporer yang harus lepas dari obsesi-obsesi permanen.
Kita telah memilih demokrasi. Memilih menjalankan politik majemuk. Memilih melaksanakan hak asasi manusia. Karena itu, kita harus menerima konsekuensi tertinggi, yaitu kemajemukan harus menghasilkan kesementaraan tujuan. Tidak ada finalitas dalam kemajemukan. Demokrasi tidak mungkin mensponsori suatu pandangan politik tunggal. Demokrasi adalah jaminan rasional terhadap keragaman tujuan hidup individual. Dengan cara itu, hak asasi manusia dapat diselenggarakan secara maksimal. Karena itu, hal maksimal yang dapat disediakan demokrasi adalah fasilitas konstitusi untuk konsensus sekuler di antara berbagai kepentingan temporer. Inilah kontrak sosial sesungguhnya dalam kehidupan publik, yaitu bahwa jarak politik antara warga negara hanya boleh diukur berdasarkan ayat-ayat konstitusi, dan bukan dengan ayat-ayat suci.
Menerima pluralisme berarti menerima etika politiknya, yaitu bahwa semua obsesi politik yang absolut, yang mengejar finalitas, hanya boleh dipraktikkan di wilayah privat. Ini bukan diskriminasi dalam demokrasi, tetapi konsekuensinya.
Artinya, sejauh "politik identitas" hanya bermaksud artikulatif, maka sistem demokrasi harus menampung dan memperlakukannya sebagai politics of difference, yaitu suara marjinal yang harus dilindungi. Namun, begitu ia mulai bermaksud akumulatif, yaitu berupaya menghomogenkan ruang publik dengan mengintrodusir prinsip-prinsip politik absolut, demokrasi harus segera menolaknya karena ia mengancam prinsip dasar demokrasi itu sendiri: ruang publik tidak boleh dirumuskan secara final. Ia harus bebas dari obsesi-obsesi absolut.
Ruang politik adalah ruang relatif, ruang falibilis, ruang profan. Itulah sebabnya kita mendaur ulang politik setiap lima tahun. Namun, kita tidak membuat pilkada untuk Tuhan. ( by : RG)

Jumat, 18 Juni 2010

Ada Tujuh Maha Rsi

Ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.
Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain : Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia.
Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu.
Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme.
Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa?
Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok).
Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda.
Weda memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara.
Weda menjadikan pemikiran-pemikiran cemerlang bagi orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu:
1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.
Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.
Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.
Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.
Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.
Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.
Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.
Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.
Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur.
Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
c. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan.
Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.
Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu : o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
o Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru o Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.
Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama: 􀂾Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) 􀂾Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa 􀂾Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali.
Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”.
Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual.
Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).
Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa.
Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun.
Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.
Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Di bidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling menonjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di Nusantara telah berkembang Agama lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap dapat bertahan pada Hindu karena agama Hindu telah membudaya mewujudkan jati diri orang-orang Bali yang mengagumkan dunia. Zaman sudah globalisasi, dunia yang tanpa batas, pengaruh budaya luar terus menerus menghantam ketahanan orang-orang Hindu.
Bermula dari perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali dirubah menjadi Agama Hindu Dharma. Ini merupakan tonggak bagi sebagian kecil penduduk dari suku-suku: Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan pada keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam Hindu Dharma.
Dengan demikian Hindu Dharma akan mampu memberikan acuan yang lengkap mengenai Tattwa, Susila dan Upacara kepada saudara-saudara se-dharma di luar Bali, karena sudah ratusan generasi meninggalkan Hindu atau tidak bersentuhan dengan Hinduan seperti yang berkembang di Bali Hindu Dharma harus mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh ke enam tokoh suci yang disebutkan di atas.
Karena Bali saat ini banyak sekali aliran-aliran bermunculan dan saling bertentangan seperti abad ke 10 sebelum kedatangan Mpu Kuturan di Bali.
Dalam perkembangan globalisasi saat ini Hindu Dharma sudah melakukan reformasi kelembagaan yaitu:
• Parisadha Hindu Dharma secara khusus sebagai lembaga umat yang menangani masalah-masalah agama sehingga Tattwa , Susila dan Upacara menjadi sesuatu yang utuh sebagai manifestasi hubungan vertical (hubungan religius)
• Lembaga Adat (Majelis Desa Pekraman untuk di Bali) secara khusus menangani masalah-masalah Adat sebagai manifestasi hubungan Horisontal.(hubungan social) : dari berbagai sumber.

7 Teknik Mendinginkan Emosi

Dalam sebuah hubungan, pertengkaran memang tidak bisa dihindari. Jika tidak hati-hati, masalah kecil akan menjadi besar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, simak tips mendinginkan suasana ini.
1. Tenang
Ambil jeda waktu beberapa menit ketika muncul perasaan ingin ‘meledak’. Anda bisa pergi ke ruangan lain dan lepaskan ‘ledakan’ itu di sana. Bila perlu, ambil waktu lebih panjang. Setelah tenang, temui kembali pasangan dan selesaikan masalah dengan kepala dingin.
2. Hindari Kata ’Selalu’ Dan ‘Tidak Pernah’
“Kamu selalu begitu” atau “Kamu tidak pernah mengerti perasaanku”. Ucapan ini sering terlontar ketika kita marah pada pasangan. Padahal, penggunaan kata-kata ini akan semakin memperuncing pertengkaran. Hindari ucapan tersebut atau coba katakan lebih spesifik dan jelas.
3. Stop Berultimatum
Apa pun masalahnya, pertengkaran bukan akhir sebuah hubungan. Jadi, jangan mengeluarkan ultimatum atau mendeklarasikan hubungan Anda telah berakhir. Fokuskan perhatian pada inti masalah. Jangan biarkan diri Anda terbawa suasana.
4. Jangan Katakan “Aku benci Kamu”
Apa pun yang Anda rasakan saat bertengkar, jangan pernah sekali pun mengeluarkan ungkapan benci. Apalagi jika sebenarnya Anda tidak bermaksud seperti yang Anda katakan. Ungkapan seperti, “Aku benci kalau kamu bersikap seperti itu”, akan lebih enak didengar dibandingkan “Aku benci padamu”.
5. Toleran
Taktik bagus untuk menenangkan dan mendinginkan suasana adalah dengan berkata lembut dan halus pada pasangan yang sedang ‘panas’ hati. Bersikaplah lebih toleran, sabar dan tempatkan diri Anda di posisinya. Jika Anda tak pernah melakukan hal ini pada pasangan, jangan harap dia akan berbuat sama pada Anda.
6. Jangan Akhiri Pertengkaran Dengan Pertengkaran
Maksudnya, jangan mengomentari pertengkaran yang telah lewat secara berlebihan. Tidak penting siapa yang mulai menyela atau berteriak, jika Anda dan dia telah setuju dan berdamai. Hentikan tindakan atau ucapan yang dapat menyulut pertengkaran baru.
7. “Maaf”
Kata ini memang memiliki kekuatan magis yang besar dan bekerja sangat baik dalam menyelesaikan pertengkaran. Mintalah maaf kalau pernah berlaku tidak baik selama pertengkaran, meski Anda merasa tidak bersalah dalam pertengkaran tersebut.
Bagian terbaik dari sebuah pertengkaran adalah saat berbaikkan. Jadi, berbaikanlah. Nyatakan perasaan cinta Anda dan peluk dia!(saduran )

Pengendalian Diri,................

Bila ada kebajikan dalam hati, akan ada keindahan watak. Bila ada keindahan watak,akan ada keharmonisan dalam rumah tangga.Bila ada keharmonisan dalam rumah tangga,akan ada ketentraman dalam negara. Bila ada ketentraman dalam negara akan ada kedamaian di dunia. ( Sai Baba )

Selama berabad-abad sejarah telah membuktikan bahwa wanita memiliki keberanian, pandangan, dan kecerdasan yang diperlukan untuk menyelami pengetahuan dan disiplin kerohanian. Wanita adalah pendamping suaminya dalam memenuhi kewajiban dan hak bagi orang yang menikah serta menempuh hidup berumah tangga. Tidak cukuplah bila anggaran rumah tangga seimbang,seorang istri dan ibu harus mengetahui seninya pandangan hidup yang seimbang yang tidak terpengaruh oleh keberhasilan dan kesulitan, untung atau rugi, kemenangan atau kekalahan. Keseimbangan ini hanya dapat diperoleh dengan menaruh kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan yang bersemayam dalam diri kita.Ada satu disiplin yang harus kau perhatikan, yaitu pengendalian indera. Bila kau bebaskan inderamu tanpa kendali,mereka akan menjerumuskan engkau kedalam bencana. Belajarlah bermeditasi agar inderamu dapat dikendalikan dan kehendakmu dapat kau arahkan ke dalam batin untuk menguasai perasaan dan emosi.

Blokade Mental

Menjadi manusia efektif ternyata tidak saja menuntut optimalisasi keunggulan semata melainkan ada kebutuhan lain yang sebesar optimalisasi, yaitu menyingkirkan blokade. Blokade adalah barrier (halangan) yang menghambat potensi kita untuk dapat berfungsi seperti yang kita maksudkan sehingga akhirnya menjadi tidak efektif atau banyak menelan pemborosan energi, waktu dan konsentrasi. Ibarat sebuah talang, jika air tidak mengalir selancar yang seharusnya
terjadi berarti terdapat kemungkinan tanda tanya, “there is something technically/strategically wrong”. Bisa jadi talang itu bocor dan membuat kucuran air membanjiri tempat lain yang tidak diinginkan atau aliran air terhalang oleh tumpukan benda-benda kecil. Peristiwa di mana orang menjalani hidup tidak efektif – sebagaimana talang – tidak selamanya disebabkan oleh faktor ketidamampuan (over-burden) tetapi oleh adanya kebocoran atau kemampetan. Kalau mengutip rumusan Paretto (20:80), blokade itulah yang membuat kita menjalani hidup sebaliknya (80:20). Kita mengeluarkan energi 80 % dan hanya
menghasilkan 20 % dari sasaran. Padahal mestinya 20 % kita keluarkan dan mendapatkan 80 % sasaran atau setidaknya 30:70, 40:60 atau 50:50. Pertanyaannya, bentuk blokade apakah yang menghambat tersebut?

Kemampuan dan Kebiasaan

Setelah mengeluarkan pendapat tentang “The Seven Habit – The Most Effective People” , Covey menemukan hubungan korelatif antara kebiasaan efektif dan tingkat aktualisasi kemampuan dasar manusia (dalam: Seven Habit Revisited:
seven unique human endowment, Stephen Covey: 1996-1998). Di dalam diri manusia terdapat tujuh kemampuan dasar yang berasosiasi dengan model kebiasaan menurut kontinum tertentu. Tujuh kemampuan dasar (endowment) itu antara lain:
1) Kesadaran-diri (self awareness), 2) imajinasi (imagination and conscience), 3) Kemauan (will power), 4) mentalitas berlimpah (abundance mentality), 5) Keberanian (courage with consideration), 6 ) Kreativitas (creativity), 7)
Pembaruan (self renewal). Ketujuh kemampuan dasar itu digolongkan menjadi dua, yaitu primer (1,2, 3) dan sekunder (4, 5, 6, 7).
Adapun tujuh kebiasaan manusia efektif (seperti yang sudah dijelaskan dalam buku Covey yang telah beredar di sini)
adalah: 1) Proaktif (Proactive), 2) Berawal dari tujuan akhir (Begin with the end), 3) Mengutamakan yang utama (First thing
first), 4) Berpikir menang-menang (Think win-win), 5) Memahami lebih dulu (seek first to understand), 6) sinergisitas
(synergize), 7) Mengasah gergaji (sharpen the saw).Mari kita mulai membahas bagaimana ketujuh kemampuan dasar (seven endowments) itu menciptakan tujuh kebiasaan tertentu (Seven habits) berdasarkan peringkatnya. Peringkat yang dimaksud adalah tingkat pencapaian kualitas pengembangan diri / aktualisasi kemampuan potensial:


1. Kesadaran Diri – Proaktif

Kesadaran-diri adalah kemampuan kunci untuk memahami orang lain dan dunia ini - ‘what is happening and how something takes the process to happen’. Bahkan kesadaran-diri merupakan pintu untuk mengenal di mana sebenarnya keunggulan/kelemahan diri kita. Dengan kesadaran-diri yang tinggi maka kaki kita mantap menginjak realitas bumi dan tidak ragu-ragu dalam bertindak. Kemampuan tentang kesadaran-diri apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan efektif berupa proaktif: memiliki kemampuan untuk memilih respon yang cocok atau menentukan keputusan. Dikatakan kebiasaan
efektif karena semua persoalan tidak ada yang membingungkan apabila ditangani oleh orang yang berkapasitas mampu mengambil keputusan. Kualitas menjadi pengambil keputusan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh orang
dengan kesadaran-diri setengah-setengah. Pada level aktualisasi kemampuan yang rendah, kebiasaan hidup yang dihasilkan tidak efektif ( talang bocor) yaitu
kebiasaan reaktif – tidak memiliki kemampuan memilih alias dibentuk oleh bagaimana orang lain dan keadaan membentuknya. Di level ini semua persoalan besar/kecil akan membuat dirinya ‘bingung’ - terombang ambing, bahkan
bisa jadi tidak tahu mana yang besar dan mana yang kecil.


2. Imajinasi – Tujuan akhir

Kemampuan imajinasi apabila diaktualkan secara optimal dengan petunjuk kesadaran dan prinsip akan menghasilkan kebiasaan hidup yang bermuara pada tujuan akhir/kepentingan misi. Orang yang telah melatih imajinasinya pada level
tinggi senantiasa akan membuat lilin harapan dan visi menyala sehingga tidak mudah digoda oleh berbagai bentuk distraksi dari luar dan dari dalam atau tidak mudah kalut oleh kegelapan realitas temporer. Kondisi internal yang terus
tercerahkan (enlightenment) oleh lilin harapan dan visi inilah yang membuat dirinya realistic (berada di atas realitas) atau victor (pemenang) dan effective.
Sebaliknya, pada level aktualisasi kemampuan yang rendah di mana orang membiarkan imajinasinya liar kemana-mana tanpa kesadaran atau prinsip yang jelas akan menghasilkan cetakan kebiasaan hidup yang tidak berbentuk, atau menjadi korban (victim), sudah kemana-mana tetapi tidak menemukan apa-apa (sense of futility about goal). Imajinasi yang liar bisa terjadi kapan pun dan di manapun yang lazimnya kita kenal dengan aktivitas ‘ngelamun’. Secara permukaan sulit
dibedakan antara orang ngelamun dan orang yang melatih imajinasi dengan bervisualisasi kreatif tetapi dalam hitungan
yang ke sekian kali perbedaan itu akan sebesar kemutahiran kreasi. Bukankah semua temuan tekhnologi berawal dari imajinasi ?


3. Kemauan - Mengutamakan yang Utama

Kemampuan manusia berupa kemauan apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup teratur - mengutamakan yang utama, dan penuh displin dalam membuat tata letak antara prioritas utama, kepentingan, dan
urgensitas. Keteraturan dan displin tidak dapat diraih tanpa kemauan keras untuk merebut tanggung jawab. Orang yang tahu tata letak akan membuat kebiasaan hidup efektif.
Pada level aktualisasi yang rendah, kemampuan ini akan menghasilkan kebiasaan hidup berupa mentalitas jalan-pintas, atau the simple answer, menolak tanggung jawab hidup sehingga tidak terjadi keteraturan. Membesar-besarkan hal yang
kecil dan mengabaikan hal yang menjadi benih-benih peristiwa besar (kebocoran atau kemampetan talang). Orang yang malas tidak berarti hidupnya efektif meskipun ia menolak bertanggung jawab karena pada dasarnya hidup ini tidak
memberi pilihan antara bertanggung jawab atau tidak, melainkan harus bertanggung jawab.


4. Mentalitas Berlimpah - Berpikir Menang-menang

Kemampuan mentalitas atau kapasitas mental yang diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan berpikir menang-menang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Mentalitas berlimpah akan menghasilkan karakter kepribadian berprinsip. Prinsiplah yang menjadi sumber keberlimpahan, kemakmuran dan keamanan. Kalau dikaitkan dengan kecerdasan EQ, tingkat kecerdasan yang tinggi akan mampu memproduksi kebahagian di dalam sehingga berkuranglah tingkat dependensinya terhadap sumber kebahagian dari luar . Semakin kuat orang memegang ‘principle- centered’ (berpusat pada prinsip hidup), semakin mudah orang tersebut mengalirkan rasa cinta/penghargaan kepada orang lain - to share recognition. Oleh karena itu dikatakan, mentalitas berlimpah akan menghasilkan profit dan power.Sebaliknya pada level aktualisasi yang rendah akan menghasilkan kebiasaan hidup talang bocor berupa mentalitas kerdil (scarcity) di mana orang merasa kurang dengan dirinya. Rasa bahagia, rasa aman, dan rasa makmur tidak mampu diciptakan oleh dirinya melainkan merasa harus bergantung kepada orang lain sehingga tidak mudah memberi maaf atas kesalahan apapun yang dilakukan oleh mereka. Suami/istri yang bermentalitas kerdil akan mudah bentrok walaupun pemicunya berupa sendok makan yang jatuh padahal (mestinya) cukup diselesaikan dengan memaafkan sedikit. Karena tidak mampu memaafkan akhirnya membuat kebocoran tidak hanya menetes melainkan mengalir deras, dan akhirnya banjirlah rumah tangga.


5. Keberanian - Memahami Lebih Dahulu


Kemampuan keberanian apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan efektif berupa memahami lebih dulu baru akan dipahami. Memahami lebih dulu membutuhkan keberanian dengan pertimbangan. Dikatakan efektif
karena memahami lebih dulu akan (biasanya) membuat kita dipahami lebih dulu. Memahami lebih dulu adalah membuka talang yang macet atau kalau dipinjamkan dari istilah lain, memahami lebih dulu adalah kebiasaan empati, bukan simpati.
Sebaliknya keberanian yang tidak diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup tidak efektif berupa keinginan untuk dipahami lebih dulu baru akan memahami. Jika dikembalikan ke kehidupan kita, akar dari sebab
persoalan besar adalah dasar berkomunikasi yang ingin dipahami lebih dulu. Semua orang memang secara alami ingin dipahami lebih dulu.


6. Kreativitas - Sinergisitas

Kemampuan kreativitas apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup efektif berupa terciptanya keunggulan sinergis dari perbedaan atau persamaan. Keunggulan sinergis adalah manifestasi kesadaran misi dan tidak
dapat diraih dengan pendewaan posisi. Salah satu karakteristik keunggulan sinergis adalah terciptanya saluran komunikasi di antara respectful minds yang berinteraksi untuk menemukan kompromi dan kerjasama. Kenyataan seringkali mengajarkan bahwa pada akhirnya, kerjsa sama yang diolah dengan kreativitas akan menang melebihi ‘confrontation’. Sebaliknya kemampuan kreativitas yang tidak diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup tidak efektif
berupa kebuntuan alternatif dan kemacetan aliran transformasi. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah membuat ‘defensive communication’ dibarengi dengan pendewaan posisi antara saya dan anda, kami dan mereka. Posisi yang
didewakan akan membuat aliran kepentingan misi bisa macet dan akhirnya terbuang ke tempat yang tidak diinginkan.

7. Pembaharuan - Mengasah Gergaji

Kebiasaan mengasah gergaji dihasilkan dari kemampuan pembaruan-diri yang diaktualkan secara optimal. Dikatakan kebiasaan efektif karena dengan terus mengasah gergaji (baca: pengembangan diri) dapat mengurangi kemungkinan
yang menyebabkan kegagalan atau kelambanan menyelesaikan masalah akibat perubahan keadaan. Seperti dikatan, siksaan paling berat yang kita rasakan adalah ketidaktahuan (kebodohan). Pembaharuan adalah inovasi, improvisasi,
pembelajaran, atau merenovasi talang. Sebaliknya, kemampuan pembaruan yang tidak diaktualkan secara optimal akan membuat kita terperosok dalam sistem
hidup yang tertutup, gaya hidup yang gelap, dan buntu. Tak pelak lagi sistem dan gaya hidup demikian hanya akan mewariksakn ketertinggalan dari kemajuan zaman, mentalitas kerdil dan kebodohan akan perkembangan informasi.
Uraian singkat di atas mudah-mudahan dapat mendorong kita untuk mengecek kondisi talang di atas "rumah diri kita" secara langsung agar dapat membuat kesimpulan yang paling mendekati obyektif; apakah talang yang tidak dapat
mengalirkan air sebagaimana mestinya itu disebabkan oleh kerusakan fatal atau hanya kemampetan. Bila yang terjadi hanya mampet, pengalaman menunjukkan sangat amat jarang kemampetan talang diakibatkan oleh benda besar dalam
peristiwa sesaat, misalnya pohon yang roboh atau lainnya. Sebab kalau benda besar yang menghalangi langsung kita singkirkan. Lebih sering talang yang mampet disebabkan oleh serpihan kayu, lumpur, lumut yang awalnya kita anggap
tidak membahayakan. Dan begitu hujan turun, maka …. Bem! Semoga bermanfaat.(saduran)

Pranayama,...


TARIK NAFAS - OM Ang Atmaya Brahma murtyayai namah. (perut)
OM Ung Antaratmaya Wisnu Murtyayai namah (dada )
OM Mang Paramaatmaya Iswara murtyayai namah (kepala)
Om Ung Rah Pat astraya namah sarwa winasaya swaha.(keluar)
Setelah melakukan pranayama adi, lakukan dagdi karana yaitu posisi tetap duduk
bersila lalu ucapkan mantra :
OM Sariram kundam ityuktan
(Ya Tuhan, semoga engkau jadikan tubuh ini bagaikan tungku api)
Triyantah karanam indhanam
(yang sanggup membakar ketiga dunia dalam tubuh ini)
Sapta Ongkara mayo bahnir
(menjadikan tujuh Ongkara/cakra yang ada dalam tubuh hamba menjadi terbuka)
Bojananta udindhitah
(sehingga dapat menyimpan kekuatan prana)
OM Ang astra Kala Agni Rudra ya namah swaha
(Ya Tuhan, atas restumu semoga Api Rudra yang rahasia hadir dalam tubuh hamba)
Bayangkan diri kita seakan-akan berada di tengah-tengah gungungan api.
Setelah beberapa saat, ucapkan Amerta Mantra ;
OM Hram hrim sah Paramaciwa Raditya ya nama swaha
OM Ung Rah Phat astra ya namah.
Bayangkan ada tirta amerta yang mengguyur kepala kita terus mengalir keseluruh
tubuh melalui tulang belakang.

Memaknai Peristiwa Hidup


( sebuah kutipan )
“Every adversity, every unpleasant circumstance, every failure, and every physical pain carries with it the seed of an equivalent benefit”. (Ralp Waldo Emerson)

Kalimat bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami kegagalan maka hanya sedikit individu yang bisa mengaplikasikan makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sama halnya dengan kata bijak yang lain:
"Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?

Gagal & Sukses

Jika kita mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan diperkenalkan oleh sejarah maka cenderung diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, ‘hidden potential
events’ yang tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan, tantangan atau pelajaran. Apapun makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula bahwa hidup ini lebih pada memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.

Berdasarkan hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham Lincoln baru mencapai cita-cita politiknya pada usia 52 tahun; Soichiro Honda yang sampai cacat tangannya gara-gara mendesain piston; atau Werner Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan 65.121 kali. AMROP International, perusahaan pencari eksekutif senior yang berkantor di 78 negara di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang fluktuasi
emosi pencari kerja dari sejak di-PHK sampai menemukan pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi sebanyak 26 kali dengan asumsi waktu minimal enam bulan.

Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang. Lalu apa pembeda antara perjuangan tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah" dunia dengan perjuangan yang dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang barangkali terjadi hanya sepersekian persen?

Menyikapi Kegagalan

Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Membiarkan

Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki kemauan yang
dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang
digunakan untuk memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.

2. Menolak

Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat
keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.

3. Menerima

Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas yang tinggi. Di sini kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu saja bukan berarti
bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu. Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for
changing them."

Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian faktor antara lain:

a. Lingkungan

Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan hidup
secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau peradaban yang membentuknya. Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.


b. Sistem Struktural

Selain lingkungan, faktor sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga ikut andil terutama membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada khususnya.
Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana seseorang menjadi ‘the cause’ dari peristiwa hidup sementara mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai ‘the effect’.


c. Personal

Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural, tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif sehingga peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol ‘seleksi’ dan ‘pengecualian’ dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk merusak atau mandul.


Memaknai Kegagalan

Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan, kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar dapat membantu adalah:

1. Menciptakan Kondisi

Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya, dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri. Kualitas
conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil, rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini adalah balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar. Kata kuncinya bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri, belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir. Ciputra.

2. Menciptakan Perbedaan

Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
Sumber daya material: fisik, raga
Sumber daya intelektual: nalar
Sumber daya emosional: sikap perasaan
Sumber daya spiritual: hati, rohani
Sumber daya mental: daya dobrak
Sumber daya visual: imajinasi
Sumber daya verbal: komunikasi
Sumber daya social: relationship
Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem structural
Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk dijalankan karena sifat manusia yang ingin ‘jump to conclusion’ mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran mendengarkan
musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.

3. Menggunakan Kemampuan Baru

Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik kemampuan hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi
yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof.
Hamka. Mungkin – ini hanya pengandaian – kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40
tahun, mungkin karya berseri berjudul “The Chicken Soup for Soul” yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen.Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil hikmah dari setiap
peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak.(jp)

Hakekat Tujuan,....

Jika engkau jatuh ribuan kali,berusahalah sekali lagi. Manusia seharusnya melihat TUHAN dalam segalanya. Lihatlah dalam satu hal ; dalam apa yang paling engkau sukai, dan kemudian lihatlah DIA dalam hal yang lain. Teruskanlah seperti itu. Ada kehidupan yang pasti dihadapan jiwa! Pergunakanlah waktumu dan engkau akan mencapai tujuan akhirmu,….

Hakekat Cinta

Menolong diri sendiri akan mengarahkan kita untuk menolong orang lain. Hasil dari kecemburuan adalah penderitaan. Kebencian menghasilkan kebencian. Jika engkau menyiksa maka engkau akan disiksa, Jika engkau mencinta maka engkau akan dicintai,…

Isvara adalah Purusa Istimewa (purusa visesa Isvarah), tak tersentuh oleh kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša), perbuatan-perbuatan (karma) dan kesan serta hasil dari perbuatan-perbuatan itu.
Tiada terbatas adanya benih kemaha-tahuan (sarvajña bija) pada-Nya.
Beliau adalah Guru dari para Guru sejak jaman purba (purva), yang ada di luar jangkauan waktu.
[YS I.24 - I.26]
Dalam tiga sutra ini juga ter-refleksikan dengan amat jelas dan tajam, bagaimana Patanjali memandang Isvara. Sejauh kita masih berkutat dengan berbagai kléša dan karma, vasana, dan phala-nya, serta beraneka samskara, maka Isvara digambarkan seperti dalam sutra I.24 diatas oleh Patanjali. Penggambaran itu bukanlah dimaksudkan sebagai penggambaran absolut, dimana hanya itulah sifat-sifat Tuhan dalam konsep ketuhanannya, namun lebih secara kontekstual dalam jalan pensucian atau pemurnian batin manusia.
Dalam ajaran Buddha, yang disebut lima kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša) adalah:
• Kesenangan pada kenikmatan pemuasan nafsu indriawi (kamachanda);
• Itikad jahat atau dendam pada orang lain (vyapada);
• Kemalasan, keenganan dan kelesuan (stayana-middha);
• Kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran (auddhatya-kaukrtya); dan
• Keragu-raguan (vicikitsa).
Sementara menurut Patanjali, Panca kléša adalah:
• Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya),
• Egoisme (asmita),
• Kelekatan atau kecintaan ragawi (raga),
• Kebencian (dvesa), dan
• Kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut mati (abhiniwesa).
Walaupun ada perbedaan item-item yang dipandang sebagai kléša dalam kedua ajaran ini, namun bagi penekun jalan spiritual semua kekotoran ini penting untuk dienyahkan. Memang tidak semua orang terlahir dengan membawa semua kekotoran-kekotoran ini; ada yang hanya tiga, dua atau satu saja yang kuat. Akan tetapi ini tetap mesti diwaspadai. Patanjali memperkenalkan metode ampuh untuk mengentaskannya, yang disebut Pratipaksa Bhavana atau melalui penerapan sat sampat, seperti yang akan dipaparkan pada pembahasan sutra IV.29 - IV.34 nanti.
Secara kontekstual pula, Isvara diposisikan sebagai Guru; Guru spiritual bagi semua Guru dan penekun jalan spiritual, Guru Yoga bagi semua Guru dan penekun Yoga, dahulu, kini dan nanti. Akan tetapi kita tidak diharapkan untuk beranggapan: “Ah...saya hanya akan ber-Guru pada Isvara saja. Saya tak perlu ber-Guru pada yang lainnya, apakah itu Dewa apalagi manusia.” Jangan berpandangan demikian. Belum banyak di antara penekun yang berkualifikasi setinggi itu. Para penekun masih butuh Guru kasat-indria, Guru yang masih berjasad sebagai anutan. Akan tetapi, bukan pula sebaliknya memandang: “Kita tak mungkin ber-Guru pada Isvara. Kita harus ber-Guru hanya pada manusia yang masih hidup.” Tidak demikian adanya. Dua kutub pandang dalam ber-Guru ini memang jamak kita temui. Ini menunjukkan hadirnya pandangan keliru yang menyesatkan, untuk disadari dan dientaskan, bersamaan dengan berjalannya latihan.
Manifestasi simbol-Nya adalah suku kata tunggal Pranava (OM).
Pelafalan Pranava berulang-ulang secara konstan (japa), dengan penuh penjiwaan dan pemahaman akan maknanya, mengantarkan pada pencapaian tujuan (artha bhavanam).
Dengan mempraktekkannya lahir kesadaran kosmis (cetanãdhigamo) dan hambatan-hambatanpu n sirna.
[YS I.27 - I.29]
Sebetulnya ketiga sutra ini secara fundamental masih terkait langsung dengan Isvarapranidhana. Pelafalan berulang-ulang secara konstan Nama Tuhan, adalah perwujudan cinta dan bhakti kepada-Nya. Dan Pranava Japa ini dengan tegas disebutkan sebagai membawa keberhasilan dalam Yoga. Pelafalan secara konstan dalam ber-japa, sebetulnya juga merupakan suatu proses pembiasaan, membentuk suatu kebiasaan dalam prilaku spiritual. Inilah salah-satu praktek langsung dari Abhyasa. Jelas ia tidak dicapai serta-merta; ia merupakan suatu proses, bukan pencapaian; disini pula dituntut kesabaran dalam melalui pentahapannya. Agaknya perlu juga dicatat kalau dalam Yoga Sutra ini Patanjali hanya sekali menyertakan kata 'japa' ini. Hanya pada sutra I.28 ini saja; dan hanya dikaitkan dengan Pranava OM. Disini pulalah Patanjali memperkenalkan Japa Yoga kepada kita.
Anjuran untuk melafalkan Pranava OM tentu kita temukan dalam banyak Upanishad-Upanishad , diantaranya Mundaka Upanishad. Upanishad ini menganjurkan: “Bermeditasilah atas OM sebagai Atman. Semoga engkau berhasil menyeberang jauh dari kegelapan.” Mandhukya Upanishad juga menegaskan bahwa, apa saja yang merupakan keadaan masa silam, sekarang dan yang akan datang, semuanya adalah Pranava OM. Dan apa saja yang ada diluar waktu —lampau, sekarang, dan akan datang— itu hanyalah Pranava OM. Semuanya sesungguhnya Brahman (Tuhan). Sedangkan Bhagavad Gita menyebutkan Pranavah sarva vedasu —Aku adalah Pranava dalam seluruh Veda.
Setiap mantra umat Hindu diawali dengan melafalkan Nama-Nya. Semua Upanishad memuji OM. Pada jaman Upanishad lambang Nama-Nya—OM—sangat dimuliakan. Kata OM sendiri merupakan hasil penyandian antara tiga aksara suci A - U - M yang masing-masing mewakili tiga aspek keagungan Tuhan sebagai Mahapencipta (A), Mahapengatur dan Mahapemelihara (U) dan Mahapelebur, pengembali ke asalnya (M). Senantiasa melafalkan Nama-Nya, sebagai praktek langsung dari Isvarapranidhana, mengikat pikiran liar, dan mententramkannya dalam Tuhan. Inilah prinsip yang mendasari dan dianut oleh Japa Yoga.
Dalam sadhana, Pranava Japa dilaksanakan dalam hati (manasu japa) menyertai Pranayama. A(ng) dilafalkan dalam hati saat menarik nafas; U(ng) saat menahan nafas dan M(ang) saat menghembuskan nafas. Dengan demikian terjadi kombinasi yang solid antara Pranava dan Pranayama. Mengenai praktek Japa dalam Pranayama ini akan kita bicarakan lagi pada Sadhana Pãda, saat membahas Pranayama.
Cetana adhigama merupakan istilah bentukan Patanjali yang menarik untuk dibahas. Cetana yang disebut juga sebagai Kesadaran Kosmis, dalam Wrhaspati Tattwa didefinisikan sebagai: bersifat mengetahui, tak terkena lupa, senantiasa tenang dan tetap serta tak terhalang. Sebaliknya Acetana disebut sebagai: tanpa pengetahuan, seperti moha (kebingungan atau kemabukan). Pertemuan antara Cetana dan Acetana inilah yang melahirkan: Pradhana, Triguna, Buddhi, Ahamkara, Panca Buddhindriya, Panca Karméndriya, Panca Tanmatra, dan Panca Mahabhuta. Dalam pustaka Nusantara Kuno ini, Cetana dirinci ke dalam Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa.
Sebagai kitab Tattwa ajaran hakekat ketuhanan yang dapat disejajarkan dengan Upanishad-Upanishad , disini Isvara juga dipaparkan dengan rincian sifat-sifat:
• Aprameyam —Tidak terpikirkan, karena kejadian-Nya tidak berawal, tidak berakhir dan tidak terbatas;
• Anirdesyam —Tidak terperintahkan, karena keadaan-Nya tanpa aktivitas.
• Anaupamyam —Tidak tertandingi, tidak dapat diperbandingkan, karena keadaan-Nya tidak ada yang menyamai;
• Anamayam —Tidak terkena penyakit, karena tidak ternodai;
• Dhruvam —Berkeadaan sadar, tanpa gerak, tenang, senantiasa tetap selamanya;
• Avyayam —Tiada kurang, karena beliau sempurna.
Disebutkan pula bahwa dalam perjadiannya Beliau adalah Raja, Jiwa yang tidak terjiwai, Jiwa dari semua jiwa. Satu hal yang dapat kita pahami disini bahwa, konsep ketuhanan yang dianut oleh Patanjali tidaklah berbeda dengan konsep yang dianut di dalam Wrhaspati Tattwa —suatu karya sastragama asli Nusantara yang tidak diketahui oleh siapa dan kapan disusunnya.

IBU

Menjadi Ibu merupakan anugrah yang berharga dari TUHAN. Para ibu adalah pembentuk keberuntungan atau kemalangan suatu bangsa, karena merekalah yang menbentuk tulang punggung bangsa itu.Tulang punggung itu dikuatkan dengan 2 ( dua ) pelajaran yang harus mereka berikan, yaitu rasa takut pada dosa dan rasa CINTA pada kebajikan. Kedua hal ini dilandaskan pada kepercayaan pada TUHAN yang merupakan penggerak bathin segala mahluk. Bila engkau ingin mengetahui kemajuan suatu bangsa, pelajarilah kaum ibunya, apakah mereka bebas dari rasa takut dan khawatir,apakah mereka penuh kasih kepada semuanya, apakah mereka terlatih dalam ketabahan dan kebajikan?Bila engkau ingin mengetahui kemuliaan suatu kebudayaan, perhatikanlah kaum ibunya mengayun buaian bayi, memberi makan,mengajar, dan membelai bayinya. Sebagaimana kemajuan kaum ibunya, demikian pula kemajuan bangsa itu, dan sebagaimana kemanisan kaum ibunya, demikian pula keindahan kebudayaan itu.

Gayatri Mantra

Om bhur bhuvaha svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah prachodayat
(Rig-veda 3.62.10)