BIASA BIASA SAJA,....
Ia yang tidak mencintai pun tidak membenci, senantiasa hidup dalam kedamaian. ~anonymous~
Senin, 03 Januari 2011
Horoskop Periode 3-8 Januari 2011
Minggu, 02 Januari 2011
Siwa Ratri dan Pengendalian Nafsu
Soma Umanis Wuku Pujut bertepatan Sasih Kapitu (Senin, 3 Januari 2011), merupakan hari suci bagi umat Hindu. Hari tersebut dikenal dengan nama Siwalatri/Siwaratri atau Malam Siwa. Latri berarti malam (gelap). Dan bahkan malam itu adalah malam tergelap dibanding malam-malam lainnya. Kalangan krama Bali beragama Hindu umum menyebutnya "peteng pitu".
Pada hari Siwaratri umat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Siwa Mahadewa. Umat patut melaksanakan brata, meningkatkan kesucian rohani dan latihan mengekang hawa nafsu. Tujuannya agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di dunia ini. Terbebas dari berbagai godaan yang bisa menjerumuskan dan menyesatkan hidup, karena perbuatan menyimpang dari ajaran dharma atau Agama.
Gelap bisa menakutkan dan menciutkan nyali bagi sebagian orang. Karena menurut mereka di dalam gelap bercokol setan dan berbagai mahluk pemangsa lainnya. Tetapi sebagaian orang lagi gelap merupakan media dalam mendapatkan ketentraman batinnya. Dalam kegelapan malam ada keheningan kesunyian dan kedamaian, makanya mereka memburu gelap, termasuk malam siswa malam paling gelap sehari menjelang Tilem Kepitu 24 Januari 2001.
Adalah Lubdhaka si pemburu miskin yang berbahagia dalam perjalanan hidupnya, sekalipun tidak disadari karena secara kebetulan. Dikatakan berbahagia, lantaran sekalipun dalam sehari-hari selalu melakukan tindakan sadis, melakukan pembunuhan satwa (binatang), tetapi bisa masuk surga sesudah meninggal.
Dari pandangan mata secara awam saja, tentu perbuatan membunuh, menghilangkan nyawa mahluk lain di luar tujuan yadnya, adalah berdosa. Misteri kematian dan perjalanan arwah Lubdhaka tidak banyak yang mengetahuinya. Pemburu tersebut dalam mitologi HIndu meniggal beberapa hari setelah Siwaratri lantaran menderita suatu penyakit. Istri dan anak-anaknya merasa kehilangan.
Apa yang dilakukan Lubdhaka sehingga memperoleh tiket masuk surga setelah mati? Suatu hari lelaki itu seharian berburu, namun sama sekali tidak mendapat binatang buruan. Waktu itu jangankan ia berhasil memanah seekor binatang untuk dibawa pulang, melihat bayangan binatang saja tidak. Sangat apes hari itu perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu profesional.
Dalam kehampaan, jengkel bercampur lelah fisik karena lapar dan harus Lubdhaka memutuskan tidak bertolak pulang menemui istri dan anak-anak kesayangannya. Dengan perasaan pasrah dan nekat ia memutuskan bermalam di hutan, padang perburuannya seorang diri.
Waktu itu sebagai pemburu Lubdhaka tidak memiliki motip lain, bertahan di hutan. Kecuali satu harapannya, malam itu ia akan menemukan binatang dan berhasil memanahnya untuk dibawa pulang. Ia memilih berdiam di sebuah pohon dekat telaga yang airnya sangat bening.
Lubdhaka boleh saja berharap, namun kenyataannya sampai tengah malam yang sunyi senyap hasilnya tetap nihil. Malah dalam malam gelap ia dilanda ketakutan. lantas Lubdhaka memilih memanjat sebuah pohon yang lumayan rindang, antisipasinya supaya terhindar dari sergapan binatang buas. Untuk menahan kantuknya tangan memetik satu persatu dahan pohon yang tidah. Ternyata malam saat Lubdhaka menginap di hutan adalah Malam Siwa (Siwa Latri), yakni malam payogan Hyang Siwa.
Dimana dibawah pohon tempatnya memanjat ada sebuah telaga dan perwujudan Siwa beryoga. Pohon yang dinaiki adalah pohon Bila, serta dalam petikan lelaki itu tpat mengenai patung Siwa tersebut. karena takut jatuh otomatis laki-laki tetap terjaga (jagra) sampai pagi. Aktivitas Lubdhaka malam itulah mendapat pahala dari Hyang Siwa, hingga ia berhak masuk sorga.
Aktivitasnya itu sama nilainya dengan yang dikerjakan Siwa. Beryoga, menahan haus, lapar, tidak tidur dan menahan nafsu-nafsu lainnya. Di Khayangan rohnya sempat menjadi rebutan, antara penguasa neraka dan surga. Perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu sampai masuk sorga cukup kontroversial.
Malahan di kalangan umat Hindu sendiri hal ini masih menjadi masalah yang patut untuk didiskusikan, artinya begini, pantaskah seorang Lubdhaka yang melakukan pembunuhan terhadap sarwa buron ini mendapatkan pengampunan hanya karena melakukan kegiatan begadang semalam suntuk.( tra - Bali Aga 18 Jan-24 Jan 2001)
Senin, 27 Desember 2010
Hari Raya Galungan dan Kuningan
Hari Raya Galungan dan Kuningan
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
KIAT MENGHINDARI PERCERAIAN
Suami-istri saling memendam perasaan sehingga mereka seolah menjadi pasangan yang berjalan sendiri-sendiri, tidak meluncur di atas rel yang sama. Istilah kerennya, married single
Rabu, 22 Desember 2010
Gender Dan Swadharma Warga Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Hindu
Pengantar.
Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Sebagai contoh anak laki-laki diberi nama Kartono, sedangkan anak perempuan diberi nama Kartini. Melalui proses belajar manusia membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak hanya memandang dari aspek biologisnya saja, tetapi juga dikaitkan dengan tugas dan kewajiban (swadharma) atau fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Dari proses belajar ini barangkali yang memunculkan teori “gender” yang dijadikan sebagai pijakan berpikir sehingga menjadi “ideologi gender.” Ideologi gender merupakan dasar berpikir yang membedakan dua jenis manusia berdasarkan “kepantasannya.” Melalui ideologi gender manusia menciptakan “kotak” untuk lakilaki dan “kotak” untuk perempuan sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya. Ciri-ciri lakilaki dan perempuan “dikunci mati” oleh ideologi gender (A. Nunuk Prasetyo Murniati, 1993:4).
Salah satu dampak negatif dari ideologi gender adalah terbentuknya budayapatriarkhi di mana kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah daripada laki-laki atau dalam masyarakat terjadi dominasi laki-laki. Dalam keluarga kedudukan laki-laki lebih tinggi, suami lebih berkuasa, suami yang di depan sementara isteri di belakang saja. Budaya patriarkhi menjadi/memberi “warna” dari kehidupan sosial.
Sejak awal-awal kehidupan manusia, maka ternyata keluarga (perkawinan) merupakan salah satu lembaga yang efektif untuk pembentukan pribadi manusia. Dalam kitab Veda Smrthi tersurat sebagai berikut:
Tatha nitya yateyatam,stripumsau tu kritakriyau
Jatha nabhicaretam tau Wiyuktawitaretaram
(Weda smrthi. IX.102) Artinya:
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan,
mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai
dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.
Anyonyasyawayabhicaro, bhawedamaranantikah, Esa dharmah samasena, jneyah stripumsayoh parah.
(Weda Smrthi IX.101) Artinya:
Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati,
Singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami-isteri.
Berdasarkan sloka di atas perkawinan merupakan awal dari terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Warga rumah (suami dan isteri), wajib menjaga kesucian masing-masing, hidup rukun dan damai, tenteram, bahagia, mengupayakan terbinanya kepribadian dan ketenangan lahir dan batin dalam upaya menurunkan anak yang baik.
Dalam kitab Rg Veda dinyatakan laki-laki dan perempuan sebagai suami-isteri disebut dengan satu istilah “dampati” yang artinya tidak dapat dipisahkan. Dalam agama Hindu perempuan diakui sejajar dengan laki-laki. Dalam kitab chandokya upanisaddisebutkan bahwa semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan. Kitab Chandogya Upanishad menyatakan bahwa:Tuhan adalah jiwa dari seluruh alam semesta ini. Tuhan adalah hakekat kenyataan, Tuhan adalah kebenaran sejati, beliaulah Paramatman (sumber dari jiwa), Engkau adalah itu (tat-twam-asi).
Dalam upacara perkawinan, umat Hindu memuja Tuhan dalam aspek sebagaiDewa Ardha Nareswari. Tuhan dalam aspeknya sebagai Dewa Ardha Nareswari disimbulkan laki-laki dan perempuan dalam satu badan. Simbol ini menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan harus bersatu padu dan bekerjasama dalam kesetaraan. Hubungan suami dan isteri bagaikan api dengan panasnya.
Tujuan hidup manusia Hindu yaitu tercapainya kesejahteraan atau kebahagiaan lahir dan batin (moksartham jagathittha). Moksa adalah bersatunya atma ke dalamParamatma (Brahman) sehingga tercapailah kebahagiaan yang sejati. Sedangkanjagadhita adalah kebahagiaan jasmani, kebahagiaan karena benda-benda materi. Tujuan hidup manusia secara lebih lengkap terangkum dalam kitab Brahmana Purana yang menyatakan bahwa dharma artha kama moksanam sariram sadhanam, yang artinya badan wadag ini adalah dipergunakan untuk mendapatkan dharma, artha, kama, danmoksa. Dharma adalah kebenaran, artha adalah kekayaan materi, kama adalah hawa nafsu, dan moksa adalah kebahagiaan yang sejati. Dengan demikian tujuan hidup manusia Hindu adalah melaksanakan dharma, mengejar harta, menikmati kama, dan mencapai moksa.
Keempat tujuan hidup manusia Hindu tersebut tidak bisa dilepaskan begitu saja keberadaannya dengan periodesasi/masa kehidupan yang dikenal dengan nama Catur Asrama yaitu Bramacari Asrama, Grahastha Asrama, Wanaprastha Asrama, danBhiksuka Asrama. Brahmacari Asrama adalah masa menuntut ilmu pengetahuan dan keterampilan. Grahastha Asrama adalah masa membangun keluarga yang diawali dengan upacara perkawinan. Wanaprastha Asrama adalah masa memperdalam ajaran agama, mencari kebenaran tentang arti hidup yang sebenarnya. Masa ini adalah masa mengasingkan diri. Bhiksuka Asrama adalah masa pelepasan secara total ikatan-ikatan keduniawian dengan hidup berkelana melakukan pengembaraan spiritual, misalnya dengan melakukan dharma Yatra yaitu mengunjungi tempattempat yang suci untuk melakukan penyucian diri.
Sebagai pedoman dan tuntunan dalam kehidupan berumah tangga agar tercapai kebahagiaan hidup, maka warga rumah wajib melakukan komunikasi spiritual secara rutin dengan Tuhan, hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, dan hubungan yang harmonis dengan alam lingkungannya (Tri Hita Karana).
Sesuai dengan ajaran Hindu, warga rumah (suami, isteri, anak, cucu, dan lain-lain) dilarang untuk melakukan himsa karma, yaitu perbuatan yang mengorbankan, menyengsarakan, atau menyakiti diri sendiri atau orang lain. Kitab Sarasamuccaya, sloka 90 menyatakan sbb:
“Karena itu hendaknya dikekang, diikat kuat-kuat panca indera dan pikiran itu, jangan dibiarkan akan melakukan tindakan melanggar, melakukan sesuatu yang tercela, sesuatu yang tidak membawa kebahagiaan, sesuatu yang pada akhirnya tidak menyenangkan.“Kewajiban Anggota Keluarga Hindu.
Dalam sebuah keluarga minimal terdiri dari suami (bapak), isteri (ibu), dan anak yang masing-masing memiliki tugas dan kewajiban sebagai warga rumah. Tugas dan kewajiban isteri dan suami secara umum yang harus dilaksanakan antara lain: Suami-isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati dalam kesetaraan, setia, saling membantu baik lahir maupun batin. Setelah mempunyai putra (santana), suami-isteri bekerjasama mendidik putra-putrinya sebaik-baiknya sampai putra-putrinya kawin dan dapat berdiri sendiri. Hubungan cinta kasih antara suami-isteri harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Di samping itu suamiisteri berkewajiban mempelajari dan menjalankan ajaran-ajaran agama. Di samping mendalami ajaran tatwa agama, juga melaksanakan upacara keagamaan serta ajaran kesusilaan (etika agama) sepertiTrikaya Parisudha, Catur Paramita, Panca Yamabratha, Panca Nyamabratha, Dasa Dharma, Dasa Paramita, dan lain-lain. Secara khusus tugas dan kewajiban suami, isteri, dan anak diatur sebagai berikut:
1. Tugas dan Kewajiban Suami.
Laki-laki disebut suami karena ia mempunyai isteri. “Suami” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “pelindung.” Ini berarti tugas suami adalah melindungi isteri dan anakanak. Juga menjaga keutuhan keluarga dengan menghindari perceraian, mendidik isterinya untuk melakukan penyucian diri (bratha), memberi benih putra-putri yang luhur (Rg Veda.X.85.25).
Sloka di atas menegaskan bahwa seorang suami mempunyai tugas sebagai pemrakarsa, pencetus, pemimpin dalam rumah tangga. Dengan demikian keluarga Hindu menganut sistem kebapakan (Sang Purusa, Patriarchat).
Dalam kitab Sarasamuccaya 242, suami atau bapak mempunyai kewajiban membangun jiwa dan raga anaknya:
1) Sarirakrt , artinya mengupayakan kesehatan jasmani anak.
2) Prana data, artinya membangun jiwa si anak.
3) Anna data, artinya memberikan makan.
Dalam kitab Grhya Sutra seorang suami mempunyai dua kewajiban, yaitu:
1) Memberikan perlindungan pada isteri dan anaknya (patti).
2) Berkewajiban menjamin kesejahteraan isteri dan anak-anaknya.
Dalam kitab Nitisastra VII.3 kewajiban suami/bapak dalam keluarga ada 5 jumlahnya yang disebut Panca Wida, yaitu:
1) Matulung urip rikalaning baya, artinya menyelamatkan keluarga pada saat bahaya.
2) Nitya maweh bhinojana, artinya selalu mengusahakan makanan yang sehat, yang satwika.
3) Mangupadyaya, artinya memberi ilmu pengetahuan kepada warga rumah.
4) Anyangaskara, artinya menyucikan anak atau membina mental spiritual anak.
5) Sang ametwaken, artinya sebagai penyebab lahirnya anak.
Dalam kitab Veda smrthi Bab III.45 s.d 60 mengurai tugas suami adalah membangun Grahajagadhita dengan cara:
1) Menggauli isterinya kecuali pada perwani.
2) Merasa puas dengan isterinya seorang.
3) Menghormati isterinya.
4) Merasa bahagia dengan isterinya.
Dalam kitab Veda smrthi Bab IX.3, suami/bapak adalah sebagai pelindung isterinya yang lengkapnya tersurat sebagai berikut: “Selagi ia (isteri) masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putra-putrinyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas dari perlindungan.“
Secara lebih terperinci tugas suami dalam keluarga menurut Veda Smrthi Bab IX.2, 3, 9, dan 11 dapat disampaikan sebagai berikut:
3) Suami wajib menggauli isterinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari unsur-unsur yang mengakibatkan perceraian.
4) Suami hendaknya selalu merasa puas dan berbahagia bersama isterinya karena dalam rumah tangga apabila suami-isteri merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.
5) Suami wajib menjalankan tugas dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara dengan baik (dharma grahastha, kula dharma)
6) Suami/ayah wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.
7) Suami wajib melakukan sraddha, pemujaan terhadap leluhur (pitra puja), memelihara cucunya dan melaksanakan panca yadnya.
2. Tugas dan Kewajiban Isteri Dalam rumah tangga
Perempuan disebut isteri karena ia mempunyai suami. Wanita yang sudah menikah disebut isteri. Kata “isteri” berasal dari bahasa sanskerta “Stri“ yang berarti pengikat kasih. Fungsi isteri adalah menjaga jalinan kasih sayang keluarga (suami dan anak anaknya). Anak haruslah dibangun jiwa dan raganya dengan curahan kasih ibu. Prabu Yudistira dalam kitab Mahabharata mengatakan isteri itu sebagai ibu dalam rumah tangga, juga sebagai dewi dan permaisuri. Kata “permaisuri” berasal dari kata parama yang artinya utama dan iswari yang artinya pemimpin Sebagai “dewi” artinya isteri sebagai sinar dalam keluarga dan sebagai permaisuri isteri adalah pemimpin yang utama dalam mengatur tata hubungan, tatagraha, tata bhoga, tata keuangan, dan sebagainya. Adapun tugas dan kewajiban isteri/ibu adalah:
1) Melahirkan dan memelihara anak/putranya serta memberi kebahagiaan kepada suami dan anak-anaknya.
2) Ramah kepada suami dan seluruh anggota keluarga suami.
3) Bersama baik dalam suka maupun dalam duka dengan suami dan anak-anak.
4) Memberi kebahagiaan dan keberuntungan kepada suami dan mertua.
5) Menjadi pengayom bagi seluruh keluarga (Veda Smrthi Bab IX. 26).
6) Berpenampilan lemah lembut dan simpatik. (Rg Weda VII 33.19).
7) Menjadi pelopor kebaikan dalam keluarga (Yajur weda XIV.21).
8) Patuh kepada suaminya (Rg Weda X. 85, 43).
9) Setia kepada suami, senantiasa waspada, tahan uji, menghormat yang lebih tua. (Atharwa weda XIV.1.41, Rg Weda X.85.27, Atharwa Weda XIV.2.20).
10) Isteri sebagai Ibu Rumah Tangga (Atharwa weda).
11) Isteri sebagai penerus keturunan (Manu Smrthi XI.26).
12) Isteri sebagai pembimbing anak (Nitisastra, IV.21).
13) Isteri sebagai penyelenggara aktivitas agama (Manawa dharma sastra VI.28). Kaitannya dengan upacara persembahan (yadnya) dalam kitab Manawa Dharmasastra III.56 disebutkan: di mana wanita tidak dihormati maka tidak ada upacara persembahan yang memberi kebahagiaan dan pahala mulia.
Tugas dan kewajiban Anak
1) Menuntut ilmu pengetahuan (masa brahmacarya)
2) Menghormati orang tuanya (ibu dan bapak) (Sarasamuccaya 239)
3) Menjadi anak yang suputra (menjaga nama baik keluarga, berpengetahuan, cerdik cendekiawan, memiliki wawasan berpikir yang luas dan memiliki budi pekerti yang luhur) (Sarasamuccaya 228).
4) Menyenangkan hati kedua orang tuanya dan tidak boleh berkata kasar kepada orang tuanya.
Om santi-santi-santi Om