Senin, 27 Desember 2010

KIAT MENGHINDARI PERCERAIAN

Sudah menjadi berita yang biasa di era sekarang ini satu pasangan yang baru menikah beberapa bulan, kemudian terdengar kabar tentang perceraian mereka. Secara sederhana dapat dianalisa bahwa keputusan mereka untuk menikah hanya berdasar pada tumpuan “semu”.

Suami-istri saling memendam perasaan sehingga mereka seolah menjadi pasangan yang berjalan sendiri-sendiri, tidak meluncur di atas rel yang sama. Istilah kerennya, married single

Ketidakharmonisan rumah tangga biasanya berawal dari tiadanya komunikasi dua arah antarpasangan suami istri. Masing-masing saling memendam perasaan sehingga mereka seolah berjalan sendiri-sendiri meski tinggal di bawah satu atap yang bernama perkawinan.
Devina kesal. Tommy, suaminya, sering lupa hari ulang tahunnya. Padahal sudah lebih dari lima tahun mereka menikah. Setiap kali diingatkan, Tommy cuma berkomentar, “Oh, iya, hari ini ulang tahunmu, ya. Aku lupa!” Mending kalau ia lalu memberikan ciuman atau apa. Ia malah cuma bilang, “Eh, kamu mau hadiah apa, nih aku kasih uang.”
Padahal Devina sering berharap, suaminya memberi kejutan. Entah sekadar memberi sekuntum bunga, kartu ucapan, atau ciuman. Di keluarga Devina, hari ulang tahun dianggap peristiwa istimewa. Beda dengan keluarga Tommy. Hari ulang tahun tidak pernah dirayakan karena tidak dianggap penting.
Tampaknya sepele. Namun, bagi Devina, sikap suaminya sungguh mengecewakan. Sementara itu Tommy tidak pernah menyadari sikapnya. Kalau saja Devina mau mengungkapkan perasaan dan kehendaknya, ceritanya mungkin bisa lain. Tapi itu tidak dilakukannya.
Jangan berbohong
Komunikasi, seperti diakui pasutri Rizal dan Riza yang sudah 10 tahun menikah, memang jalan satu-satunya agar pernikahan tidak terganggu sehingga bisa tetap utuh. Menurut mereka, pernikahan merupakan kebutuhan, baik dari segi jasmani maupun rohani. Kebutuhan untuk mendapatkan keturunan, kebutuhan untuk berbagi, serta tempat memperoleh ketenangan hati.
Di awal tahun usia pernikahan mereka benturan kecil kadang tak terhindari meski masa pacaran mereka sudah cukup lama.
”Begitu hidup dalam satu atap, egoisme kami masing-masing lebih mudah terlihat, lupa kalau setelah menikah harus mau saling berbagi,” ujar mereka senada.
Ada satu contoh peristiwa yang tidak bisa mereka lupakan saat masih pengantin baru. Tanpa setahu suami, Riza memesan mebel. Ia mengira, tabungan suaminya pasti cukup. Dugaannya keliru. Uang tabungan itu ternyata bukan milik pribadi sang suami. Konflik pun tak terhindarkan.
Benturan macam itu lambat laun tidak lagi terjadi setelah mereka mencoba belajar untuk saling berkomunikasi. Saat yang tepat untuk berkomunikasi, menurut Riza yang juga dokter gigi itu, ialah ketika masing-masing sudah cooling down. Momen yang tepat pun perlu dicari, misalnya waktu makan bersama atau malam hari menjelang tidur.
”Dengan berjalannya waktu, setelah lima tahun, kami makin mengerti apa saja penyebab timbulnya benturan sehingga sedapat mungkin dihindari,” tambah Rizal, yang pengusaha itu. ”Apa yang sedang diutarakan oleh pasangan tentu harus didengarkan baik-baik, jangan dipotong,” timpal Riza.
Namun, ”Komunikasi dapat dilakukan juga secara tertulis lewat secarik kertas,” ungkap seorang konsultan perkawinan dalam sebuah acara Marriage Encounter (ME, sebuah organisasi yang bergerak dalam pembinaan relasi pasutri).
Saling mau mengubah sikap atau tidak melakukan lagi apa yang tidak disukai pasangan, menurut pasutri ini, berperan besar dalam melanggengkan keharmonisan rumah tangga. Diramu dengan saling memberi perhatian, cinta, dan kasih sayang. Ihwal perhatian, misalnya, jangan sampai terjadi seorang istri atau suami tidak tahu makanan kesukaan pasangannya.
Diskusi tentang masalah yang sedang dihadapi keluarga, entah soal pekerjaan, ekonomi keluarga, pendidikan anak, dll. hendaknya dicarikan solusi yang terbaik bagi semua. Anak yang sudah beranjak dewasa, kalau perlu, dilibatkan. Siapa tahu mereka dapat ikut memecahkan persoalan.

Menerima apa adanya
• ”Perkawinan bukan suatu happy ending, melainkan happy beginning,” mengutip ucapan Kartina Prawirabisma alias Bu Kar, yang pernah mengasuh rubrik keluarga di sebuah majalah wanita. Karena itu pembinaan relasi pasutri seyogianya dimulai sejak awal pernikahan.
”Ketika seorang pria dan wanita sudah sekamar dan sedapur, masing-masing akan tampak sifat aslinya. Rayuan gombal tidak muncul lagi seperti saat pacaran. Yang ada hanyalah dua orang yang harus saling menyesuaikan diri. Di sinilah kehidupan (perkawinan) dimulai dengan belajar saling memberikan pengertian serta memahami sifat-sifat serta ciri-ciri kepribadian masing-masing secara lebih mendalam,” jelasnya.
Masih menurut Bu Kar, tujuh tahun pertama yang merupakan masa untuk saling beradaptasi itu rawan konflik. Maka, resep utama yang harus dipraktikkan tidak cukup hanya mencintai tetapi juga menyukai dan menyayangi sambil belajar mengenali perbedaan masing-masing.
Diwanti-wanti pula oleh pakar ME, jangan pernah mulai dengan membanding-bandingkan pasangan dengan suami atau istri orang lain, yang dinilai lebih sempurna. Ingat bahwa masing-masing sudah saling memilih sebagai pasangan hidup. Jadi, semua pihak harus mau menerima ”Si Dia” apa adanya.
Bu Kar juga berpesan agar setiap individu mau sama-sama mengembangkan diri. Misalnya, setelah 10 tahun menikah, ketika posisi suami dalam karier sudah berhasil mencapai taraf manajer atau lebih, sang istri hendaknya jangan tinggal diam walaupun dirinya tidak bekerja. Istri perlu mengikuti perkembangan suami, baik dalam pergaulan maupun pengetahuan.
Menambah pengetahuan, misalnya dengan mengambil kursus di waktu luang, membaca buku, mengikuti perkembangan politik dan ekonomi, atau mencari kegiatan yang bermanfaat menjadi relevan buat istri. Supaya, bila diajak berdiskusi oleh suami, ”tidak ketinggalan kereta”. Bila diminta suami menemani makan malam relasinya pun, sedapat mungkin tidak ditolak agar istri juga semakin mengenal dunia pasangannya.
Beberapa hal yang umumnya menjadi batu sandungan dalam relasi suami-istri, menurut (alm.) dr. Gerard Paat, yang semasa hidupnya menjadi konsultan perkawinan, adalah perbedaan persepsi, wawasan, dan nilai. Termasuk di dalamnya perbedaan agama, latar belakang sosial-budaya, dan kepribadian. Namun, perbedaan itu sebenarnya bisa diatasi kalau saja mau saling berusaha memahami dan berintrospeksi diri.
Kebanyakan pasutri yang berhasil menciptakan keharmonisan hingga masa tua adalah mereka yang berhasil membangun kebersamaan. Kebersamaan baru tercipta apabila pasangan berhasil menumbuhkan semangat berkorban, tidak egoistis, dan memiliki rasa saling pengertian.
Perlu keterbukaan masalah seks
• Selain masalah ekonomi dan keluarga besar, penyebab konflik pasutri khususnya di Indonesia juga seputar masalah seksual.
”Bahkan masalah ini bisa berakhir dengan perceraian,” kata Dr. dr. Wimpie Pangkahila, pakar andrologi dan seksologi yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali.
”Mungkin orang sering lupa bahwa fungsi hubungan seksual selain prokreasi yakni untuk mendapatkan keturunan, juga untuk rekreasi atau kesenangan, dan ekspresi cinta,” tambah dr. Boyke Dian Nugraha, Sp.OG, MARS, pakar ginekologi dalam suatu wawancara. Padahal banyak pasutri mengakui, melakukan hubungan sesksual dapat menghilangkan ketegangan setelah seharian bekerja.
Diakui Wimpie, banyak pasutri di Indonesia masih enggan berterus terang dengan pasangannya mengenai ketidakpuasan seksual walaupun belakangan sudah semakin terbuka.
”Komunikasi tentang seks menjadi keharusan sebab dengan itu akan diperoleh pemahaman seksualitas masing-masing tentang seperti apa yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki,” katanya.
Kalau komunikasi sulit dilaksanakan, saran Wimpie, bisa dimulai dengan menggunakan media, misalnya buku tentang seksualitas yang benar dan ilmiah. Kedua pihak harus membacanya. Setelah itu bisa mulai masuk dalam percakapan berdasarkan isi buku itu. ”Bagaimanapun caranya, komunikasi dua arah lebih baik daripada berdiam diri,” tambah Wimpie.
”Pembinaan relasi seksual sebenarnya tidak selalu harus dengan adegan ranjang,” demikian pakar ME. Terutama pada usia tengah baya ketika kemampuan seksual pria sudah menurun, bahkan mungkin sudah tidak ada, dan si wanita sudah menurun libidonya. Namun, hubungan mesra masih tetap bisa dilakukan. Misalnya, dengan memberikan ciuman saat suami hendak ke kantor, berjalan-jalan di mal, makan atau menonton bioskop berdua, memberikan pujian saat istri berdandan rapi dan tampak lebih cantik, saling menelepon saat pasangan bertugas di luar kota, dll.

Cemburu dan selingkuh
• Bukan barang baru bahwa banyak perselisihan terjadi gara-gara rasa cemburu, yang lebih sering berakar dari salah tafsir dan kurangnya keterbukaan.
Misalnya saja, ungkap Rizal, pada suatu ketika karena tuntutan pekerjaan, suami harus mengajak sekretarisnya keluar kota. Sang istri yang hanya mendengar cerita setengah-setengah dari orang lain, bisa dengan gampang menuduh suaminya berselingkuh. Padahal kalau saja istri mau bertanya dan suami mau terbuka, atau sebelumnya memperkenalkan sekretarisnya pada sang istri, masalahnya bisa jadi lain.

Perselingkuhan umumnya terjadi karena masing-masing tidak mau saling terbuka atau mendengarkan apa yang dikeluhkan pasangannya. Umpamanya, suami merasa jengkel karena setiap kali pulang, istrinya tidak di rumah. Tapi keluhan itu tidak disampaikan, atau sudah diutarakan namun tidak didengarkan, atau istri tidak mau mengubah kebiasaannya.
Perselingkuhan juga bisa terjadi karena faktor kesepian, jarang merasakan kepuasan seksual atau godaan dari luar (tempat hiburan bernuansa erotis, wanita perayu, dsb.).
Untuk menyelesaikan percekcokan ataupun perselingkuhan pertama-tama, saran dr. Wimpie, harus dicari akar persoalannya, kemudian diusahakan untuk dihindari atau disingkirkan.
”Masing-masing berusaha tidak melepaskan diri dari masalah yang sedang dihadapi, apalagi kalau ikut ambil bagian sebagai penyebabnya,” kata Wimpie. ”Duduk bersama dan membicarakan hal-hal yang kurang berkenan kemudian mencari jalan keluar bersama merupakan cara yang paling bijaksana.”
Agar relasi pasutri tetap mesra, buanglah pula jauh-jauh persepsi bahwa kemesraan hanya pantas dilakukan selagi masih berpacaran. Pada dasarnya, kemesraan itu hak setiap insan, tanpa pandang usia maupun status. Aulia Muttaqin Psi - (Intisari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar