Jumat, 18 Juni 2010


Isvara adalah Purusa Istimewa (purusa visesa Isvarah), tak tersentuh oleh kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša), perbuatan-perbuatan (karma) dan kesan serta hasil dari perbuatan-perbuatan itu.
Tiada terbatas adanya benih kemaha-tahuan (sarvajña bija) pada-Nya.
Beliau adalah Guru dari para Guru sejak jaman purba (purva), yang ada di luar jangkauan waktu.
[YS I.24 - I.26]
Dalam tiga sutra ini juga ter-refleksikan dengan amat jelas dan tajam, bagaimana Patanjali memandang Isvara. Sejauh kita masih berkutat dengan berbagai kléša dan karma, vasana, dan phala-nya, serta beraneka samskara, maka Isvara digambarkan seperti dalam sutra I.24 diatas oleh Patanjali. Penggambaran itu bukanlah dimaksudkan sebagai penggambaran absolut, dimana hanya itulah sifat-sifat Tuhan dalam konsep ketuhanannya, namun lebih secara kontekstual dalam jalan pensucian atau pemurnian batin manusia.
Dalam ajaran Buddha, yang disebut lima kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša) adalah:
• Kesenangan pada kenikmatan pemuasan nafsu indriawi (kamachanda);
• Itikad jahat atau dendam pada orang lain (vyapada);
• Kemalasan, keenganan dan kelesuan (stayana-middha);
• Kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran (auddhatya-kaukrtya); dan
• Keragu-raguan (vicikitsa).
Sementara menurut Patanjali, Panca kléša adalah:
• Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya),
• Egoisme (asmita),
• Kelekatan atau kecintaan ragawi (raga),
• Kebencian (dvesa), dan
• Kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut mati (abhiniwesa).
Walaupun ada perbedaan item-item yang dipandang sebagai kléša dalam kedua ajaran ini, namun bagi penekun jalan spiritual semua kekotoran ini penting untuk dienyahkan. Memang tidak semua orang terlahir dengan membawa semua kekotoran-kekotoran ini; ada yang hanya tiga, dua atau satu saja yang kuat. Akan tetapi ini tetap mesti diwaspadai. Patanjali memperkenalkan metode ampuh untuk mengentaskannya, yang disebut Pratipaksa Bhavana atau melalui penerapan sat sampat, seperti yang akan dipaparkan pada pembahasan sutra IV.29 - IV.34 nanti.
Secara kontekstual pula, Isvara diposisikan sebagai Guru; Guru spiritual bagi semua Guru dan penekun jalan spiritual, Guru Yoga bagi semua Guru dan penekun Yoga, dahulu, kini dan nanti. Akan tetapi kita tidak diharapkan untuk beranggapan: “Ah...saya hanya akan ber-Guru pada Isvara saja. Saya tak perlu ber-Guru pada yang lainnya, apakah itu Dewa apalagi manusia.” Jangan berpandangan demikian. Belum banyak di antara penekun yang berkualifikasi setinggi itu. Para penekun masih butuh Guru kasat-indria, Guru yang masih berjasad sebagai anutan. Akan tetapi, bukan pula sebaliknya memandang: “Kita tak mungkin ber-Guru pada Isvara. Kita harus ber-Guru hanya pada manusia yang masih hidup.” Tidak demikian adanya. Dua kutub pandang dalam ber-Guru ini memang jamak kita temui. Ini menunjukkan hadirnya pandangan keliru yang menyesatkan, untuk disadari dan dientaskan, bersamaan dengan berjalannya latihan.
Manifestasi simbol-Nya adalah suku kata tunggal Pranava (OM).
Pelafalan Pranava berulang-ulang secara konstan (japa), dengan penuh penjiwaan dan pemahaman akan maknanya, mengantarkan pada pencapaian tujuan (artha bhavanam).
Dengan mempraktekkannya lahir kesadaran kosmis (cetanãdhigamo) dan hambatan-hambatanpu n sirna.
[YS I.27 - I.29]
Sebetulnya ketiga sutra ini secara fundamental masih terkait langsung dengan Isvarapranidhana. Pelafalan berulang-ulang secara konstan Nama Tuhan, adalah perwujudan cinta dan bhakti kepada-Nya. Dan Pranava Japa ini dengan tegas disebutkan sebagai membawa keberhasilan dalam Yoga. Pelafalan secara konstan dalam ber-japa, sebetulnya juga merupakan suatu proses pembiasaan, membentuk suatu kebiasaan dalam prilaku spiritual. Inilah salah-satu praktek langsung dari Abhyasa. Jelas ia tidak dicapai serta-merta; ia merupakan suatu proses, bukan pencapaian; disini pula dituntut kesabaran dalam melalui pentahapannya. Agaknya perlu juga dicatat kalau dalam Yoga Sutra ini Patanjali hanya sekali menyertakan kata 'japa' ini. Hanya pada sutra I.28 ini saja; dan hanya dikaitkan dengan Pranava OM. Disini pulalah Patanjali memperkenalkan Japa Yoga kepada kita.
Anjuran untuk melafalkan Pranava OM tentu kita temukan dalam banyak Upanishad-Upanishad , diantaranya Mundaka Upanishad. Upanishad ini menganjurkan: “Bermeditasilah atas OM sebagai Atman. Semoga engkau berhasil menyeberang jauh dari kegelapan.” Mandhukya Upanishad juga menegaskan bahwa, apa saja yang merupakan keadaan masa silam, sekarang dan yang akan datang, semuanya adalah Pranava OM. Dan apa saja yang ada diluar waktu —lampau, sekarang, dan akan datang— itu hanyalah Pranava OM. Semuanya sesungguhnya Brahman (Tuhan). Sedangkan Bhagavad Gita menyebutkan Pranavah sarva vedasu —Aku adalah Pranava dalam seluruh Veda.
Setiap mantra umat Hindu diawali dengan melafalkan Nama-Nya. Semua Upanishad memuji OM. Pada jaman Upanishad lambang Nama-Nya—OM—sangat dimuliakan. Kata OM sendiri merupakan hasil penyandian antara tiga aksara suci A - U - M yang masing-masing mewakili tiga aspek keagungan Tuhan sebagai Mahapencipta (A), Mahapengatur dan Mahapemelihara (U) dan Mahapelebur, pengembali ke asalnya (M). Senantiasa melafalkan Nama-Nya, sebagai praktek langsung dari Isvarapranidhana, mengikat pikiran liar, dan mententramkannya dalam Tuhan. Inilah prinsip yang mendasari dan dianut oleh Japa Yoga.
Dalam sadhana, Pranava Japa dilaksanakan dalam hati (manasu japa) menyertai Pranayama. A(ng) dilafalkan dalam hati saat menarik nafas; U(ng) saat menahan nafas dan M(ang) saat menghembuskan nafas. Dengan demikian terjadi kombinasi yang solid antara Pranava dan Pranayama. Mengenai praktek Japa dalam Pranayama ini akan kita bicarakan lagi pada Sadhana Pãda, saat membahas Pranayama.
Cetana adhigama merupakan istilah bentukan Patanjali yang menarik untuk dibahas. Cetana yang disebut juga sebagai Kesadaran Kosmis, dalam Wrhaspati Tattwa didefinisikan sebagai: bersifat mengetahui, tak terkena lupa, senantiasa tenang dan tetap serta tak terhalang. Sebaliknya Acetana disebut sebagai: tanpa pengetahuan, seperti moha (kebingungan atau kemabukan). Pertemuan antara Cetana dan Acetana inilah yang melahirkan: Pradhana, Triguna, Buddhi, Ahamkara, Panca Buddhindriya, Panca Karméndriya, Panca Tanmatra, dan Panca Mahabhuta. Dalam pustaka Nusantara Kuno ini, Cetana dirinci ke dalam Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa.
Sebagai kitab Tattwa ajaran hakekat ketuhanan yang dapat disejajarkan dengan Upanishad-Upanishad , disini Isvara juga dipaparkan dengan rincian sifat-sifat:
• Aprameyam —Tidak terpikirkan, karena kejadian-Nya tidak berawal, tidak berakhir dan tidak terbatas;
• Anirdesyam —Tidak terperintahkan, karena keadaan-Nya tanpa aktivitas.
• Anaupamyam —Tidak tertandingi, tidak dapat diperbandingkan, karena keadaan-Nya tidak ada yang menyamai;
• Anamayam —Tidak terkena penyakit, karena tidak ternodai;
• Dhruvam —Berkeadaan sadar, tanpa gerak, tenang, senantiasa tetap selamanya;
• Avyayam —Tiada kurang, karena beliau sempurna.
Disebutkan pula bahwa dalam perjadiannya Beliau adalah Raja, Jiwa yang tidak terjiwai, Jiwa dari semua jiwa. Satu hal yang dapat kita pahami disini bahwa, konsep ketuhanan yang dianut oleh Patanjali tidaklah berbeda dengan konsep yang dianut di dalam Wrhaspati Tattwa —suatu karya sastragama asli Nusantara yang tidak diketahui oleh siapa dan kapan disusunnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar