Senin, 20 Desember 2010

Labuhan Alit

Posisi Raja di Tanah Jawa seringkali memiliki kekuasaan sentral. Namun, perhatiannya terhadap kawulo akan lebih menentukan kelanggengan kekuasaannya.

UPACARA Labuhan Alit punya makna tersendiri sebagai Tingalan Jumenengan Dalem Nata atau bertakhtanya Sri Sultan HB X. Ritual yang dilakukan setiap 30 Rajab itu dimulai di Pantai Parang Kusumo dan berakhir serentak di Gunung Merapi dan Gunung Lawu.
Tempat-tempat tersebut adalah tempat bersejarah karena para raja Mataram terutama Panembahan Senopati bertapa dan menjalin hubungan dengan roh halus. Ada nilai historis yang berpadu dengan unsur mitologis dalam upacara ini sehingga memberikan bukti bahwa peradaban Mataram atau Yogyakarta memiliki nilai yang adiluhung.
Secara historis, upacara Labuhan Alit merupakan bentuk syukur karena takhta Kerajaan Mataram masih bisa berjalan dan langgeng memimpin rakyat. Selain itu, Labuhan sebagai medium untuk memohon kepada Tuhan agar sultan, keraton, dan rakyat Yogyakarta diberikan keselamatan.
Alkisah, pada masa pemerintahannya, Panembahan Senopati, sang raja Mataram yang legendaris, terlibat percintaan dengan Kanjeng Ratu Kidul, selaku penguasa Laut Selatan. Kanjeng Ratu Kidul itu bersedia membantu segala kesulitan Panembahan Senopati, dan Panembahan diminta untuk menyelenggarakan upacara persembahan sesajen kepada Kanjeng Ratu Kidul di pesisir selatan. Cerita yang berbentuk mitologi ini berkembang turun-temurun, ada yang meyakini kebenarannya, ada juga yang hanya memposisikan sebagai cerita hikmah.
Menurut beberapa pengamat, posisi pantai selatan, keraton dan Gunung Merapi berada dalam satu garis ordinat yang lurus. Konon ini berdasarkan penelitian ecara geografis, bukan simbolis semata.

Makna yang tersirat dalam konteks budaya adalah untuk membangun Yogyakarta yang damai dan sejahtera hams ada sinergi dan harmoni antara pemerintahan yang disimbolisasikan dengan keraton dan pantai dan gunung sebagai simbol alam semesta. Setiap titah raja atau kebijakan pemerintahan harus berdasarkan keseimbangan Tuhan, manusia, dan semesta.
Makna
Ritual Labuhan dimulai dengan upacara pasrah penampi (penyerahan sesajen) dan Parentah Ageng Kraton Ngayogyakarta kepada Bupati Bantul di Pendapa Kecamatan Kretek. Setelah itu, uba rampe (peralatan) dibawa ke Pendapa Parangkusumo untuk di-wilang (diperiksa) sebelum diserahkan kepada juru kunci Parangkusumo, sekaligus didoakan. Acara doa berlangsung di Cepuri Parangkusumo. Di tengah areal Cepuri terdapat batu yang menjadi tempat pertemuan Panembahan dan Ratu Kidul.
Setelah didoakan, salah satu uba rampe berisi lorodan ageman (pakaian bekas sultan), kenaka (potongan kuku) serta rikma (potongan rambut) sultan selama setahun dikubur di sudut Cepuri sambil menabur bunga dan membakar dupa. Sisa uba rampe berisi sembilan kain dengan corak dan warna khusus, uang tindih lima ratus, minyak koyoh, dupa serta layon sekar (sejumlah bunga yang telah layu dan kering, bekas sesajen pusaka-pusaka keraton selama setahun), juga termasuk jajanan pasar; dibawa di atas tiga tandu melewati jalan yang dibatasi tiang-tiang di kedua sisi hingga bibir pantai. Uba rampe kemudian dilarung. Penguburan pakaian, rambut dan kuku, memberikan makna yang esoteris. Bahwa tubuh manusia semulia apa pun harus dikubur dalam-dalam karena yang berhak memiliki itu semua adalah Sang Pencipta. Manusia, baik sebagai penguasa, orang terhormat sekalipun tidak boleh membangga-banggakan pakaian sosialnya di hadapan Tuhan semuanya sirna.
Rakyat Yogyakarta yang hadir menjadi saksi, dengan suka cita berebut sesajen yang terbawa ombak. Berdasarkan kepercayaan, mereka yang berebut sesajen itu disebut ngalap berkah (mencari berkah keselamatan dan keberuntungan).
Selanjutnya para abdi dalem menuju Gunung Merapi. Sebelum Labuhan, uba rampe wilujengan yang berupa sembilan tumpeng dan satu gunungan uluwetu, dikirab dari rumah Dukuh Pelemsari, menuju rumah juru kunci Merapi. Sesajen itu kemudian didoakan dan diinapkan di pendopo rumahnya.
Hubungan batin
Berkumpulnya para abdi dalem dengan kawulo alit dari berbagai lapisan dalam setiap upacara tradisi di Yogyakarta memiliki satu pesan yang penting. Manunggaling kawulo gusti dalam konteks spiritual-vertikal dan sosial-horisontal.

Secara historis, upacara Labuhan Alit merupakan bentuk syukur karena takhta Kerajaan Mataram masih bisa berjalan dan langgeng memimpin rakyat.

Pertama, dalam upacara Labuhan, manusia harus menghilangkan egosentris, untuk menyatu dengan Tuhan. Manusia itu sejatinya tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan Yang Wujud.
Kekuasaan, kekayaan, dan kemegahan duniawi itu tidak berarti apa-apa kalau tidak mampu memberikan makna spiritual untuk nenyatu dalam kemaujudan Tuhan.

Kedua, makna manunggaling kawulo gusti dalam konteks sosial-horisontal. Antara penguasa dan rakyat harus memiliki keterpaduan hati dan jiwa. Penguasa harus mampu merasakan penderitaan dan kegelisahan kawulanya.
Demikian juga rakyat harus mampu menerjemahkan kehendak raja. Upacara Labuhan yang menjadi medium berkumpulnya kawula dari berbagai lapisan masyarakat, beragam profesi, dengan abdi dalem dan orang-orang keraton diharapkan menjadi ruang untuk saling menyatu, manunggal, satu hati satu jiwa.
Upacara Labuhan yang mempertahankan unsur ritual animisme dan dinamisme tidak semata-mata dimaknai sebagai unsur syirik, atau menyekutukan Tuhan. Tradisi tersebut hanyalah simbol kebudayaan yang maknanya adalah mengabdi kepada Tuhan.
Ritual Labuhan Alit diharapkan oleh rakyat Yogyakarta menjadi obat hati, membangun ketangguhan batin manusia. Juga memperbaiki hubungan penguasa dengan rakyat untuk menciptakan kebijakan politik yang adil, membangun masyarakat yang damai dan sejahtera lahir dan batin.(M-4) miweekend@mediaindonesia.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar